Sumber: AP News | Editor: Prihastomo Wahyu Widodo
KONTAN.CO.ID - NEW YORK. Memperingati Hari Perempuan Internasional yang jatuh pada tanggal 8 Maret, PBB secara khusus menyoroti serangkaian pelanggaran hak-hak perempuan yang terjadi di Afghanistan sejak kelompok Taliban mengambil alih kekuasaan pada tahun 2021.
Dalam pernyataannya hari Rabu, perwakilan khusus sekretaris jenderal PBB dan kepala misi politik PBB di Afghanistan, Roza Otunbayeva, mengatakan bahwa Afghanistan menjadi negara paling represif terhadap perempuan.
Otunbayeva menjelaskan bahwa Taliban telah menerapkan aturan yang membuat sebagian besar perempuan dan anak perempuan terperangkap secara efektif di rumah mereka.
"Afghanistan yang ada di bawah Taliban tetap menjadi negara paling represif di dunia terkait hak-hak perempuan," ungkap Otunbayeva, seperti dikutip AP News.
Baca Juga: Pemerintah Taliban dan Junta Myanmar akan Dilarang Terlibat di PBB
Di awal kekuasaannya, Taliban sempat berjanji akan memenuhi hak-hak perempuan, termasuk dengan mengizinkan mereka bekerja dan bersekolah.
Sayangnya, janji hanya sekadar janji. Anak-anak perempuan di Afghanistan dilarang mengenyam pendidikan lebih dari kelas enam sekolah dasar. Perempuan secara umum juga dilarang bekerja, belajar, bepergian tanpa pendamping laki-laki, dan pergi ke taman atau rumah pemandian.
Perempuan juga dilarang bekerja di lembaga swadaya masyarakat nasional dan internasional. Kondisi ini menyebabkan banyak pengiriman bantuan kemanusiaan menjadi terganggu.
"Taliban mengklaim telah mempersatukan negara, tetapi mereka juga membaginya berdasarkan jenis kelamin," kata Otunbayeva di hadapan Dewan Keamanan PBB di New York.
Kepada PBB, Taliban mengatakan bahwa pemisahan gender ini bukan masalah yang signifikan dan sedang ditangani. Taliban juga meminta komunitas internasional untuk menilai situasi Afghanistan dari aspek lain.
Baca Juga: Taliban Resmi Melarang Perempuan Afghanistan Belajar di Universitas
Sebagai akibat dari pembatasan aktivitas perempuan, Otunbayeva menyebut ada separuh dari jumlah dokter, ilmuwan, jurnalis, dan politisi potensial di Afghanistan yang kini hanya bisa berdiam diri di rumah.
"Sungguh menyedihkan menyaksikan upaya metodis, disengaja, dan sistematis mereka (Taliban) untuk membuat perempuan dan anak-anak perempuan tersingkir dari ruang publik," lanjutnya.
Sepuluh dari 15 anggota Dewan Keamanan akhirnya mengeluarkan pernyataan bersama yang menuntut agar Taliban segera membatalkan semua tindakan penindasannya terhadap perempuan dan anak perempuan.
Kelima belas negara tersebut adalah Inggris, Uni Emirat Arab, Swiss, Malta, Jepang, Gabon, Prancis, Ekuador, Brasil dan Albania.
"Pemulihan di Afganistan tidak dapat terjadi tanpa partisipasi perempuan secara penuh, setara, dan bermakna dalam semua aspek kehidupan politik, ekonomi, dan sosial," bunyi pernyataan bersama tersebut.