Sumber: The Guardian | Editor: Handoyo
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Meski dunia terus berupaya beralih ke energi bersih, penggunaan batu bara global justru mencapai rekor tertinggi sepanjang sejarah pada tahun lalu, mengancam target pembatasan pemanasan global sesuai Perjanjian Paris.
Laporan tahunan State of Climate Action, yang dirilis pada Rabu (tanggal publikasi tidak disebutkan), menunjukkan bahwa meski porsi batu bara dalam pembangkitan listrik menurun karena pertumbuhan pesat energi terbarukan, permintaan listrik global yang meningkat membuat total konsumsi batu bara tetap naik.
Kondisi ini menandakan tren yang mengkhawatirkan dalam upaya dunia menekan emisi gas rumah kaca (GRK). Emisi global memang tumbuh lebih lambat dibanding sebelumnya, namun masih terus meningkat, menandakan negara-negara belum berada di jalur yang sesuai dengan target pengurangan emisi.
Dunia Bergerak ke Arah yang Benar, Tapi Terlalu Lambat
Menurut Clea Schumer, peneliti di World Resources Institute (WRI), lembaga pemikir yang memimpin penyusunan laporan tersebut, “Tidak diragukan lagi bahwa dunia telah mengambil langkah yang benar.
Baca Juga: Produksi Batubara China Turun 1,8% pada September, Harga Tetap Menguat
Namun kecepatannya belum cukup. Salah satu temuan paling mengkhawatirkan adalah bahwa untuk kelima kalinya berturut-turut, upaya penghapusan batu bara masih jauh dari target.”
Schumer menegaskan bahwa untuk mencapai nol emisi bersih (net zero) pada tahun 2050—tujuan yang diperlukan agar pemanasan global tidak melampaui 1,5°C di atas level praindustri—lebih banyak sektor harus beralih menggunakan listrik alih-alih bahan bakar fosil seperti minyak dan gas.
Namun, langkah itu hanya efektif bila pasokan listrik global sendiri sudah berbasis rendah karbon.
“Masalahnya, sistem energi yang masih bergantung pada bahan bakar fosil menciptakan efek berantai besar,” kata Schumer. “Pesannya jelas: kita tidak akan mampu membatasi pemanasan global di bawah 1,5°C jika penggunaan batu bara terus mencetak rekor.”
Politik Energi Global: Antara Komitmen dan Kenyataan
Meskipun sebagian besar pemerintah dunia telah berkomitmen untuk “mengurangi secara bertahap” (phase down) penggunaan batu bara sejak kesepakatan tahun 2021, beberapa negara justru meningkatkan produksinya.
-
India, di bawah kepemimpinan Perdana Menteri Narendra Modi, baru-baru ini merayakan pencapaian produksi batu bara lebih dari 1 miliar ton.
-
Di Amerika Serikat, Presiden Donald Trump kembali menyatakan dukungan penuh terhadap batu bara dan bahan bakar fosil lainnya, sembari menekan proyek energi terbarukan dan memangkas insentif untuk transisi energi hijau.
Baca Juga: Era Batubara Mulai Berakhir, Energi Terbarukan Jadi Sumber Listrik Terbesar Dunia
Meskipun dampak kebijakan Trump terhadap peningkatan emisi GRK belum terlihat langsung, laporan tersebut memperingatkan bahwa efeknya kemungkinan akan terasa di masa depan. Namun, Tiongkok dan Uni Eropa berpotensi menahan dampak global tersebut dengan tetap memperkuat investasi di energi terbarukan.
Pertumbuhan Energi Terbarukan Masih Belum Cukup
Kabar baiknya, energi terbarukan—khususnya tenaga surya—tumbuh “secara eksponensial” dan kini menjadi sumber energi dengan pertumbuhan tercepat dalam sejarah, menurut laporan WRI.
Namun, kecepatan pertumbuhan ini masih jauh dari cukup. Untuk mencapai target penurunan emisi pada akhir dekade ini, pertumbuhan tahunan tenaga surya dan angin perlu meningkat dua kali lipat dari tingkat saat ini.
“Sangat jelas bahwa serangan terhadap energi bersih di AS membuat target Perjanjian Paris semakin sulit dicapai,” ujar Sophie Boehm, peneliti senior WRI dan salah satu penulis utama laporan tersebut. “Namun, transisi energi ini jauh lebih besar dari satu negara mana pun. Momentum besar tengah terjadi di banyak pasar dan ekonomi berkembang, di mana energi bersih kini menjadi jalur termurah dan paling andal untuk pertumbuhan ekonomi dan keamanan energi.”
Sektor Industri dan Efisiensi Energi Masih Jadi Tantangan
Laporan tersebut menyoroti bahwa dunia juga bergerak terlalu lambat dalam meningkatkan efisiensi energi, terutama dalam mengurangi emisi karbon dari pemanasan bangunan.
Sektor industri pun menjadi perhatian serius: intensitas karbon sektor baja—yakni jumlah karbon yang dihasilkan per satuan produksi baja—justru meningkat, meski beberapa negara telah berupaya menerapkan teknologi rendah karbon.
Sisi lain yang lebih positif datang dari transportasi darat, di mana lebih dari 20% mobil baru yang terjual tahun lalu adalah kendaraan listrik (EV). Di Tiongkok, angkanya bahkan mendekati 50%.
Hutan Dunia Terus Tergerus
Laporan itu juga memperingatkan kondisi penyerap karbon alami seperti hutan, rawa, dan lautan yang terus menurun fungsinya.
Baca Juga: Pemerintahan Trump Buka 5,3 Juta Hektare Lahan Publik untuk Tambang Batubara
Meskipun banyak negara berjanji melindungi hutan, deforestasi masih berlangsung luas. Pada 2024, dunia kehilangan lebih dari 8 juta hektare hutan, sedikit lebih rendah dari puncaknya 11 juta hektare pada 2017, namun lebih tinggi dari 7,8 juta hektare yang hilang pada 2021.
Dunia, menurut laporan itu, perlu bergerak sembilan kali lebih cepat untuk menghentikan deforestasi dibanding kecepatan saat ini.
Menatap Cop30 di Brasil
Para pemimpin dunia dan pejabat tinggi akan berkumpul di Brasil bulan depan dalam KTT Iklim PBB (Cop30) untuk membahas strategi global agar dunia tetap berada di jalur pembatasan pemanasan di bawah 1,5°C sesuai Perjanjian Paris 2015.
Setiap negara diharuskan menyerahkan rencana kontribusi nasional (Nationally Determined Contribution/NDC) yang menjelaskan langkah konkret dalam menurunkan emisi.
Namun, laporan WRI memperingatkan bahwa rencana-rencana tersebut masih jauh dari memadai, sehingga pertemuan di Brasil akan menjadi ujian besar: apakah dunia mampu mempercepat aksi iklim sebelum terlambat.