Reporter: Avanty Nurdiana | Editor: Avanty Nurdiana
KONTAN.CO.ID - NEW YORK. Lonjakan harga saham pada hari pertama perdagangan usai penawaran umum perdana alias initial public offering (IPO) di AS memunculkan pertanyaan apakah underwriter terlalu berhati-hati dalam menetapkan harga IPO.
Berdasarkan data LSEG yang dihimpun Reuters, 20 IPO terbesar di AS pada 2025 seperti perusahaan perangkat lunak Figma dan penerbit stablecoin Circle mencatatkan rata-rata kenaikan harga 36% pada hari pertama. Angka ini jauh melampaui kisaran ideal 15%-20% yang selama ini dianggap sebagai sweet spot oleh para analis. Angka ini cukup tinggi untuk menarik investor tanpa membuat perusahaan kehilangan potensi mendapat dana lebih besar.
Menurut data Dealogic, jika penetapan harga dilakukan lebih tinggi, perusahaan bisa mendapatkan tambahan sekitar US$ 6,1 miliar dari IPO.
Baca Juga: Efek Tarif, Bank Sentral di Asia Kompak Pangkas Bunga
Underwriter dituduh menetapkan harga IPO terlalu rendah untuk menghindari kegagalan di pasar. Namun, efek tarif dagang dan ketidakpastian ekonomi global memang membuat para underwriter lebih konservatif. Apalagi banyak perusahaan menunda IPO karena bunga tinggi.
"Penetapan harga IPO yang konservatif saat ini adalah pilihan strategis membangun momentum positif saham jangka panjang," ujar Lukas Muehlbauer, firma riset IPOX. Menurut dia, debut di pasar dengan harga yang solid akan memudahkan perusahaan untuk mendapatkan pendanaan tambahan di kemudian hari.
Musim gugur 2025 diprediksi menjadi periode IPO tersibuk dalam beberapa tahun, dengan sejumlah perusahaan besar seperti Klarna, Gemini, dan Medline bersiap untuk IPO. Indeks IPO Renaissance yang melacak kinerja saham baru terbesar naik 15% tahun ini, melampaui performa indeks acuan S&P 500.
Metode direct listing juga bisa jadi alternatif menghindari risiko salah harga. Spotify dan Coinbase telah memilih jalur ini. Namun, jalur ini belum banyak digunakan karena minimnya dukungan underwriter dan ketidakpastian di hari pertama perdagangan.