Reporter: Dina Mirayanti Hutauruk | Editor: Dina Hutauruk
KONTAN.CO.ID - DALLAS. Belum sepenuhnya pulih dari hantaman pandemi Covid-19 dan perang Rusia-Ukraina, kini ekonomi global harus dihadapkan dengan ketidakpastian baru. Hal itu menyusul pecahnya perang antara kelompok Hamas dan Israel yang telah menelan ribuan korban jiwa.
Perang di Timur Tengah itu akan meruntuhkan kepercayaan akan pemulihan ekonomi dunia dan diperkirakan akan mendorong tren inflasi baru. Konflik ini kemungkinan juga bisa mendorong para gubernur bank sentral mengerek suku bunga.
Saat ini memang belum jelas seberapa besar dampaknya dan masih butuh waktu untuk mengukurnya. Itu akan tergantung pada lama perang berlangsung dan penyebarannya ke wilayah lain di kawasan Timur Tengah.
"Masih terlalu dini untuk mengatakan apa dampaknya. Namun, pasar minyak dan saham mungkin akan terkena dampak langsung," kata Agustin Carstens, manajer umum Bank for International Settlements dilansir Reuters, Selasa (9/10).
Baca Juga: Perang Israel-Hamas Dongkrak Daya Tarik Emas dan Aset Safe-Haven
Perang ini berpotensi menambah tekanan terhadap perekonomian global yang sudah melambat dan pasar AS yang masih beradaptasi dengan kemungkinan suku bunga tinggi The Fed masih bertahan lama dari prediksi investor.
Carl Tannenbaum, kepala ekonom Northern Trust mengatakan, segala sumber ketidakpastian ekonomi tentu akan menunda pengambilan keputusan, meningkatkan premi risiko, dan mengganggu pasokan minyak global.
Wilayah Timur Tengah bukan hanya rumah bagi produsen minyak besar seperti Iran dan Arab Saudi, namun juga jalur pelayaran utama melalui Teluk Suez berada di wilayah itu.
Menurut Carl, perang terbaru ini berkembang secara berbeda dari konflik yang terjadi di Timur Tengah selama beberapa dekade terakhir. Sehingga masih menjadi pertanyaan apakah perang ini akan membuat keseimbangan jangka panjang menjadi tidak seimbang.
Baca Juga: Harga Minyak Melonjak 3% Pada Senin (9/10) Pagi, Dipicu Konflik Israel-Palestina
Perang Hamas-Israel ini akan menimbulkan dilema bagi bank sentral, apakah akan menyebabkan tekanan inflasi baru. Para pejabat The Fed sebelumnya menyebut bahwa kenaikan harga energi baru-baru ini berpotensi mengganggu prospek penurunan inflasi Amerika Serikat (AS) secara bertahap.
"Konflik ini menimbulkan risiko harga minyak yang lebih tinggi, dan risiko terhadap inflasi dan prospek pertumbuhan," kata Karim Basta, kepala ekonom di III Capital Management.
Para pejabat The Fed telah mengamati kenaikan imbal hasil obligasi treasury AS baru-baru ini untuk mencari tanda-tanda bahwa investor mungkin telah mendorong kondisi keuangan melebihi apa yang diperlukan untuk meredam inflasi, dan meningkatkan risiko perlambatan ekonomi yang terlalu parah.
Perang Israel dengan Hamas dapat membalikkan tren tersebut jika modal mengalir deras menuju obligasi treasury AS yang relatif lebih aman, seperti yang sering terjadi pada saat potensi krisis.