Reporter: Barratut Taqiyyah | Editor: Barratut Taqiyyah Rafie
TOKYO. Hari ini, suasana mencekam meliputi bursa Asia. Itu terjadi setelah saham-saham di bursa Amerika Serikat (AS) mengalami kemerosotan tajam. Investor panik. Bahkan beberapa langkah yang diambil sejumlah negara seperti melakukan pertemuan Negara Kelompok Tujuh yang dijadwalkan hari ini, pengambilalihan bank bermasalah, menyuntikkan dana segar untuk likuiditas serta pemangkasan suku bunga di hampir seluruh dunia gagal meyakinkan kepercayaan investor.
Memasuki akhir pekan ini, kondisi bursa Asia semakin terpuruk. Indeks Nikkei Jepang, misalnya, hari ini mengalami penurunan tajam sebesar 11%. Sementara, indeks Hang Seng Hongkong pada pembukaan transaksi perdagangan pagi tadi bahkan langsung anjlok 7,7%. Bahkan bursa saham Indonesia hingga hari ini masih ditutup menyusul penurunan IHSG yang mencapai 10,38% pada transaksi penutupan (8/10) lalu.
“Penurunan ini terjadi karena kepanikan investor. Lihat saja, saham sejumlah perusahaan mengalami penurunan tajam yang disebabkan mereka tidak memiliki cukup dana. Perusahaan dengan kinerja baik dijual dengan harga yang sangat murah,” papar Ivan Tham, analis dari Kuwait Finance House.
Memang, di Jepang, saham sejumlah perusahaan besar merosot tajam. Sebut saja Mitsubishi UFJ Financial Group Inc yang turun 8,5%. Mitsubishi Estate Co, yang merupakan perusahaan kedua terbesar real estate Jepang, turun 9,6% menjadi 1.615. Sedangkan Mitsui Fudosan Co., perusahaan real estate terbesar Jepang, merosot 8,2% menjadi 1.551 yen.
Saham-saham di AS, kemarin juga mengalami hal serupa. Indeks Dow Jones Industrial Average ditutup di bawah posisi 9.000 untuk pertama kalinya sejak 2003. Penurunan ini dipimpin oleh keanjlokan saham Morgan Stanley sebesar 26% dan Goldman Sachs 10%.
“Tidak ada satu orang pun yang membeli. Padahal tidak ada masalah dari segi fundamental, sehingga tidak ada penjelasan yang rasional mengapa kondisi ini bisa terjadi,” jelas Yoshinori Nagano, chief strategist dari Daiwa Asset Management.
Choi Min Jai dari KTB Asset Management Co di Seoul pun berpendapat sama. “Ini merupakan kepanikan finansial. Resesi ekonomi bisa jadi makin parah. Anda tidak dapat memutus mata rantai yang menyebabkan kondisi ini,” jelasnya.
Bloomberg, Reuters