Sumber: Reuters | Editor: Prihastomo Wahyu Widodo
KONTAN.CO.ID - NEW YORK. Untuk pertama kalinya, Dewan Keamanan PBB mengadakan pertemuan untuk membahas risiko ancaman yang datang dari kecerdasan buatan atau AI pada hari Selasa (18/7).
Pertemuan ini dipimpin oleh Menteri Luar Negeri Inggris James Cleverly karena Inggris berperan sebagai presiden DK PBB untuk periode Juli 2023. Cleverly mengatakan bahwa AI akan secara fundamental mengubah setiap aspek kehidupan manusia.
"Kami sangat perlu membentuk tata kelola global untuk teknologi transformatif karena AI tidak mengenal batas. AI dapat membantu mengatasi perubahan iklim dan meningkatkan ekonomi," kata Cleverly, dikutip Reuters.
Baca Juga: Tren Kecerdasan Buatan Menopang Minat Investor Terhadap Fintech Global
Potensi Ancaman AI
Terlepas dari manfaatnya yang nyata, Cleverly juga mengingatkan bahwa AI dapat memicu disinformasi dan dapat membantu aktor negara dan non-negara dalam pencarian senjata.
Pertemuan ini tentu juga dihadiri oleh Sekretaris Jenderal PBB, Antonio Guterres. Dirinya juga sepakat bahwa teknologi AI dapat melahirkan risiko yang serius bagi keamanan global.
"Aplikasi AI militer dan non-militer dapat memiliki konsekuensi yang sangat serius bagi perdamaian dan keamanan global," kata Guterres.
Baca Juga: Siap Saingi ChatGPT, Elon Musk Bangun Perusahaan AI Bernama xAI
Selain dari Guterres, dewan beranggotakan 15 negara itu juga mendapatkan pengarahan dari pendiri startup AI Anthropic, Jack Clark, dan salah satu direktur Pusat Penelitian China-UK untuk Etika dan Tata Kelola AI, Profesor Zeng Yi.
Guterres mendukung seruan beberapa negara untuk membentuk badan PBB baru untuk mengatur dan mengawasi teknologi AI.
Secara teknis, badan baru ini rencananya akan begereak seperti Badan Energi Atom Internasional (IAEA), Organisasi Penerbangan Sipil Internasional (ICAO), atau Panel Antarpemerintah tentang Perubahan Iklim (IPCC).
Baca Juga: Korea Utara Sambut Kehadiran Kapal Selam AS dengan Peluncuran Dua Rudal Balistik
China dan AS Sepakat, Rusia Beda Pendapat
Sejalan dengan itu, Duta Besar China untuk PBB Zhang Jun menggambarkan AI "pedang bermata dua". Atas dasar itu dirinya mendukung peran koordinasi pusat PBB dalam menetapkan prinsip-prinsip panduan untuk AI.
"Entah itu baik atau buruk, baik atau jahat, tergantung bagaimana umat manusia memanfaatkannya, mengaturnya, dan bagaimana kita menyeimbangkannya dengan keamanan. Harus ada fokus untuk mengatur dan mencegah teknologi ini tumbuh menjadi kuda liar," ungkapnya.
Wakil Duta Besar AS untuk PBB, Mr Jeffrey DeLaurentis, mengatakan bahwa penting bagi negara-negara untuk bekerja sama dalam AI dan teknologi baru lainnya demi mengatasi risiko hak asasi manusia yang mengancam perdamaian dan keamanan.
Baca Juga: Putin: Kami Juga Bisa Gunakan Cluster Bomb Seperti Ukraina
"Tidak ada negara anggota yang boleh menggunakan AI untuk menyensor, membatasi, menekan, atau melemahkan orang," kata DeLaurentis.
Sementara itu, delegasi Rusia justru mempertanyakan tingkat kegentingan dari rapat yang membahas ancaman AI ini.
"Apakah dewan, yang bertugas menjaga perdamaian dan keamanan internasional, harus membahas AI? Yang diperlukan adalah diskusi profesional, ilmiah, berbasis keahlian yang dapat memakan waktu beberapa tahun dan diskusi ini sudah berlangsung di platform khusus," kritik Wakil Duta Besar Rusia untuk PBB Dmitry Polyanskiy.