Reporter: Anggar Septiadi | Editor: Tendi Mahadi
KONTAN.CO.ID - BEIJING. Ekonomi China diprediksi akan terus melambat pada 2019. Melemahnya permintaan domestik dan perang dagang dengan Amerika Serikat yang menghantam performa ekspor jadi penyebabnya.
Survei Reuters terhadap 85 ekonom dunia menyebutkan pertumbuhan China akan melambat ke level 6,3%. Bila terealisasi, maka akan menjadi pertumbuhan ekonomi terendah dalam 29 tahun terakhir. Sebelumnya China menargetkan pertumbuhan pada 2019 mencapai 6,6%.
Sejatinya China memulai 2018 dengan cukup baik. Di mana pada triwulan I 2018 pertumbuhan ekonomi mencapai 6,8%. Namun performa tersebut terus merosot hingga pada triwulan IV/2018 diprediksi pertumbuhan hanya mencapai 6,4%.
Sementara secara resmi, pengumuman terkait pertumbuhan Triwulan IV/2018, dan 2018 secara keseluruhan baru akan dilakukan pemerintah pada 21 Januari 2019 mendatang.
Perlambatan ekonomi sepanjang 2018 mulai terjadi akibat langkah melonggarkan pinjaman beresiko, yang di sisi lain turut meningkatkan biaya. Hal ini pun membuat perusahaan-perusahaan kecil kesulitan pendanaan.
Di saat yang sama keteganggan dengan Amerika turut menciptakan perang tarif terhadap kedua negara. Akibatnya secara global permintaan barang-barang asal China ikut melemah. "Perlambatan ekonomi China telah terjadi secara signifikan," kata Profesor Ekonomi Universitas Harvard Kenneth Rogoff, dikutip Reuters.
Perundingan perdagangan dengan Amerika pun dinilai tak akan berpengaruh signifikan mendongkrak kinerja ekonomi China. Jika secara internal, pemerintah tak berbenah diri dengan mendongkrak investasi dan permintaan domestik.
"Menghindari perang tarif lebih lanjut, memang hanya membuat China sedikit lebih kuat. Sementara tekanan soal teknologi dan keamanan nasional akan tetap tinggi," kata analis dari Capital Economics.
Pertumbuhan investasi China memang mulai beranjak sedikit akibat proyek infrastruktur, meski tak jauh dari rekor investasi terendahnya. Sementara pertumbuhan penjualan ritel menjadi yang terendah sejak 2003 dibarengi sektor properti yang terlihat goyah.
Minimnya ekspansi industri ditambah melesunya konsumsi masyarakat turut pula menekan laba margin perusahaan, tak menarik investasi baru dan meningkatkan resiko PHK lebih tinggi.
Terlebih dengan adanya guncangan perdagangan pada Desember lalu, ditambah melesunya aktivitas pabrik memicu kekhawatiran bahwa ekonomi China akan lebih terperosok dari yang diperkirakan.
LEBIH BANYAK STIMULUS
Para analis kemudian menyarankan agar Pemerintah China dapat memberikan lebih banyak stimulus ekonomi untuk menghindari perlambatan yang makin tajam.
Sekadar catatan, dalam beberapa bulan terakhir, Bank Sentral memang telah melonggarkan ketentuan cadangan perbankan hingga lima kali. Niatnya agar perbankan bisa lebih banyak menyediakan pinjaman, khususnya untuk perusahaan kecul, dan privat.
Hingga akhir 2019 analis memperkirakan masih akan ada pemotongan ketentuan cadangan perbankan hingga 150 bps oleh Bank Sentral.
Meski demikian hasil survei Reuters menyatakan, para ekonom tak berharap suku bunga acuan diturunkan oleh PBoC. Penurunan suku bunga acuan diprediksi akan membebani nilai tukar yuan di dan makin menumpuk utang luar negeri di tengah krisis global. Para ekonom berharap suku bunga terjaga di level 4,35% hingga akhir tahun.
"Kebijakan fiskal dan moneter telah dilonggarkan sejak beberapa bulan belakangan, dan saat ini harusnya dimulai juga stimulus melalui sektor riil hingga akhir semester I," tulis Capital Economics.
Di lain sisi, survei juga memprediksi inflasi tahunan 2019 akan lebih rendah hingga 2,3% dibandingkan 2018, yang hingga Oktober berada di level 2,4%. Sementara itu sumber Reuters dari pemerintahan di Beijing bilang, China masih akan berupaya menjaga inflasi di level 3% pada 2019.