Sumber: Bloomberg | Editor: Sanny Cicilia
NEW YORK. Perusahaan minyak dan gas rupanya target favorit bagi para peretas. Bukan hanya menyerang data perusahaan, perlengkapan alat berat untuk eksplorasi pun mejadi sasaran.
Berdasarkan riset Symantec Corp, sebuah perusahaaan keamaan siber, para peretas sistem menyerang 43% dari perusahaan minyak dan gas global setiap tahunnya. Sedangkan perusahaan lain Trend Micro Inc dari Amerika Serikat menyebut, 47% organisasi energi dilaporkan terkena serangan siber.
"Sekarang ini komputer menjalankan semuanya. Serangan komputer bisa menyebabkan pemadaman lampu, penumpahan minyak, atau menyakiti personil manusia," kata Alvaro Cardenas, Profesor sains komputer di Universitas Texas di Dallas.
Seperti korporasi besar lainnya, perusahaan minyak juga ingin melindungi data sensitif. Tapi, mereka punya dimensi lain yang harus dilindungi yaitu potensi kerusakan fisik terhadap alat-alat vital mereka seperti rig pengebor atau pusat listrik.
Grup yang tercatat pernah mencoba menerabas sistem korporasi migas adalah Anonymous dengan "Operation Petrol" atau grup asal Rusia dengan "Sandworm".
Salah satu korbannya adalah Saudi Arabian Oil Co, pengekspor minyak besar dunia. Pada tahun 2012, serangan siber menginfeksi 30.000 unit komputernya.
Sedangkan Kuwait National Petroleum Co sempat memutus jaringan komputer yang terhubung ke 3 kilangnya setelah hackers bersama Anonymous memperingatkan membidik perusahaan minyak di Timur Tengah.
Anonymous tahun lalu mengklaim, telah meretas 204 situs dalam bagian dari #Op Petrol.
Tom Kellerman dari Trend Micro mengatakan, peretas membawa pesan bermuatan politik, atau mengintip data rahasia untuk keuntungan investasi. Peran perusahaan migas yang strategis bagi ekonomi juga menjadikan sektor ini menjadi sasaran para hackers.
Namun, korporasi migas semakin membutuhkan internet dan jaringan komputer. "Ini adalah pedang bermata dua. Sektor energi sayangnya tidak siap melindungi diri dari serangan siber," kata dia dari Trend Micro.
Dengan begitu, ongkos melindungi diri dari serangan siber bagi perusahaan migas lebih tinggi lagi, membebani perusahaan yang terpukul oleh penurunan harga minyak.
Studi di Poneman Institute untuk Hewlett-Packard Co mencatat, perusahaan minyak harus merogoh rata-rata US$ 13,2 juta setiap tahun untuk mengatasi dampak serangan siber terhadap bisnis dan peralatan yang rusak. Pengeluaran ini lebih tinggi ketimbang 257 bisnis lain yang disurvei Poneman.
ABI Reserach, sebuah perusahaan tekonolgi data memperkirakan, pengeluaran perusahaan migas dunia untuk keamanan siber akan mencapai US$ 1,9 miliar di tahun 2018 mendatang.