Sumber: Reuters | Editor: Barratut Taqiyyah Rafie
KONTAN.CO.ID - Raksasa manufaktur Asia masih kewalahan menghadapi lesunya permintaan sepanjang bulan November. Penurunan aktivitas pabrik terus berlanjut karena kemajuan negosiasi dagang dengan Amerika Serikat (AS) ternyata belum mampu mendongkrak pesanan secara signifikan.
Reuters melaporkan, data Purchasing Managers' Index (PMI) yang dirilis Senin (2/12) menunjukkan nasib yang berbeda di kawasan ini. China, Jepang, Korea Selatan, dan Taiwan kompak melaporkan penurunan aktivitas, sementara ekonomi negara-negara Asia Tenggara justru mayoritas mencatatkan pertumbuhan.
Di China, sang "pabrik dunia", aktivitas manufaktur kembali menyusut (kontraksi) menurut survei PMI sektor swasta. Ini terjadi sehari setelah data resmi pemerintah Beijing juga menunjukkan penurunan aktivitas selama delapan bulan berturut-turut, meski laju penurunannya sedikit melambat.
"Arus peti kemas di pelabuhan China hampir tidak berubah bulan lalu dibanding Oktober. Kalaupun ada perbaikan permintaan, itu tidak banyak membantu produksi karena stok barang di gudang sudah menumpuk. Komponen output bahkan jatuh ke level terendah dalam empat bulan," kata Zichun Huang, ekonom China di Capital Economics.
Ia menambahkan, "Meskipun komponen harga output naik tipis, levelnya masih rendah, yang menandakan adanya tekanan deflasi yang persisten."
Sepanjang tahun ini, para eksportir besar di Asia harus pontang-panting menghadapi ketidakpastian akibat tarif impor agresif dari Presiden AS Donald Trump. Meskipun kesepakatan dagang Trump dengan negara seperti Jepang dan Korea Selatan, serta meredanya ketegangan dengan China, memberi sedikit napas lega, banyak perusahaan masih dalam tahap penyesuaian dengan realitas perdagangan baru AS ini.
Baca Juga: Korban Senjata Tanah Jarang China: 1 dari 3 Perusahaan Eropa Siap Pindahkan Pabrik
Kondisi di Jepang pun tak kalah suram. Data PMI menunjukkan pesanan baru terus merosot, memperpanjang tren penurunan hingga dua setengah tahun. Penyebabnya beragam: lingkungan bisnis global yang lesu, anggaran klien yang makin ketat, dan investasi modal yang tertahan. Data resmi juga menunjukkan belanja perusahaan Jepang untuk pabrik dan peralatan naik 2,9% pada kuartal Juli-September (YoY), namun melambat dibandingkan kuartal sebelumnya.
Di Korea Selatan, aktivitas pabrik mengalami kontraksi selama dua bulan beruntun di November, meskipun finalisasi kesepakatan dagang dengan AS memberikan sedikit kepastian bagi manufaktur. Namun, ada secercah harapan dari data terpisah yang menunjukkan ekspor Korea naik selama enam bulan berturut-turut, mengalahkan ekspektasi pasar, didorong oleh rekor penjualan chip teknologi dan lonjakan ekspor otomotif pasca kesepakatan dengan AS.
Sementara itu, aktivitas pabrik Taiwan masih terus turun, meski lajunya mulai melambat.
Kabar baik dari emerging markets
Kabar baik justru datang dari negara berkembang (emerging markets) di Asia. Manufaktur di kawasan ini tampil prima, di mana Indonesia dan Vietnam melaporkan pertumbuhan aktivitas pabrik yang kencang, disusul Malaysia yang kembali berayun ke zona pertumbuhan.
Tonton: Kemnaker Buka Program Magang Nasional 2025 Batch 3, Kuota 13.652 Peserta
Kesimpulan
1. Kesenjangan Utara vs Selatan: Terjadi divergensi (perbedaan arah) yang tajam. Negara industri maju di Asia Utara (China, Jepang, Korea, Taiwan) mengalami kontraksi/penurunan, sementara negara Asia Tenggara (Indonesia, Vietnam, Malaysia) justru tumbuh.
2. Efek Trump Belum Maksimal: Kesepakatan dagang baru dengan AS memang memberikan kepastian hukum, namun belum cukup kuat untuk memulihkan permintaan pesanan (order) ke level normal.
3. China Masih Tertekan: Masalah di China bukan hanya permintaan luar negeri, tapi juga penumpukan stok barang (inventori) dan ancaman deflasi.
4. Anomali Sektor Teknologi: Meskipun aktivitas pabrik umum turun, sektor spesifik seperti chip dan otomotif (khususnya di Korea Selatan) tetap mencatatkan rekor ekspor yang baik.













