Sumber: Reuters | Editor: Syamsul Azhar
KONTAN.CO.ID - AMMAN/BEIRUT/KAIRO - Komando Angkatan Darat Suriah menginformasikan kepada para perwira bahwa kekuasaan otoriter Presiden Bashar al-Assad selama 24 tahun telah berakhir, menurut salah satu perwira yang menerima pemberitahuan tersebut. Informasi ini muncul setelah serangan mendadak kelompok pemberontak yang mengejutkan dunia.
Pemberontak Suriah menyatakan bahwa Damaskus kini "bebas dari Assad." Pemimpin yang selama ini menekan segala bentuk perlawanan dilaporkan meninggalkan Damaskus menuju lokasi yang tidak diketahui. Dua pejabat militer menyatakan, tidak ada tanda-tanda penempatan pasukan di ibu kota saat pemberontak memasuki kota tersebut.
Ribuan warga berkumpul di alun-alun utama Damaskus dengan kendaraan maupun berjalan kaki, meneriakkan "Kebebasan" dari pemerintahan keluarga Assad. Para pemberontak juga merayakan pembebasan tahanan di penjara Sednaya, fasilitas besar di pinggiran Damaskus yang selama ini digunakan untuk menahan ribuan tahanan.
Penerbangan maskapai nasional Suriah dilaporkan meninggalkan Damaskus menuju wilayah pesisir, basis kuat kelompok sekte Alawite yang mendukung Assad. Namun, pesawat itu kemudian berbalik arah dan menghilang dari radar, tanpa konfirmasi siapa yang berada di dalamnya.
Baca Juga: AS Siapkan Bantuan US$ 988 juta untuk Ukraina Paket Roket dan Drone Perang
Pemimpin oposisi utama, Hadi al-Bahra, juga mengumumkan bahwa Damaskus kini bebas dari Bashar al-Assad. Perdana Menteri Mohammad Ghazi al-Jalali menyatakan kesiapan untuk mendukung transisi pemerintahan yang ditentukan rakyat Suriah.
Dalam perkembangan lain, pemberontak menguasai Homs, kota strategis yang selama ini menjadi simbol perlawanan terhadap Assad. Ribuan warga turun ke jalan, merayakan kebebasan dengan meneriakkan "Assad telah jatuh, Homs merdeka."
Tantangan Baru
Kejatuhan Assad memicu kekhawatiran akan ketidakstabilan regional. Negara-negara seperti Qatar, Saudi, Mesir, Iran, Rusia, dan Turki menyerukan solusi politik untuk mengatasi krisis. Konflik Suriah, yang dimulai pada 2011, telah menyeret kekuatan besar dunia, menciptakan ruang bagi kelompok militan, dan menyebabkan jutaan pengungsi.
Tonton: Pertumbuhan Lapangan Kerja AS Meningkat di November, Tingkat Pengangguran Naik 4,2%
Kini, kelompok pemberontak terbesar, Hayat Tahrir al-Sham, yang sebelumnya terkait Al Qaeda, menghadapi sorotan dunia. Pemimpinnya, Abu Mohammed al-Golani, berjanji tidak akan melakukan serangan balasan terhadap minoritas maupun menyerang negara lain.
Namun, dengan melemahnya dukungan sekutu Assad seperti Rusia yang sibuk dengan perang Ukraina dan Hezbollah yang terpukul dalam konflik dengan Israel, masa depan Suriah kini bergantung pada arah baru yang akan diambil oleh para pemberontak dan rakyatnya.