Sumber: Reuters | Editor: Yudho Winarto
KONTAN.CO.ID - Saham crypto exchange Bullish diproyeksikan dibuka lebih dari 75% di atas harga IPO pada Rabu (13/8/2025), menandakan kepercayaan investor yang meningkat pada sektor aset digital dan membuka peluang lebih banyak listing perusahaan kripto di AS.
Jika saham Bullish mulai diperdagangkan pada kisaran terakhir US$60–65 di NYSE, valuasi perusahaan bisa mencapai lebih dari US$9,5 miliar.
Baca Juga: Bitcoin Tembus US$122.000, Likuidasi Pasar Kripto Capai US$500 Juta
Sebelumnya, Bullish meraup US$1,11 miliar melalui IPO dengan harga US$37 per saham, menilai perusahaan senilai US$5,4 miliar.
“Bullish hadir dengan valuasi awal menarik, dan investor merespons dengan agresif saat pra-IPO,” kata Jeff Zell, analis senior di IPO Boutique.
Sejumlah faktor mendorong antusiasme investor, termasuk regulasi pro-kripto di bawah pemerintahan AS, adopsi korporasi, dan arus masuk ETF, yang membuat bitcoin mencetak rekor tertinggi.
Beberapa perusahaan kripto lain, termasuk Gemini dan Grayscale, juga telah mengajukan rencana go-public secara rahasia.
CEO IPOX Josef Schuster menambahkan, “Kripto kini menjadi salah satu pilar besar pasar IPO, dengan lebih banyak transaksi tidak hanya melalui IPO tetapi juga de-SPAC.”
Bullish yang mengakuisisi situs kripto CoinDesk pada 2023 berencana mengonversi sebagian besar hasil IPO menjadi stablecoin, segmen kripto yang tumbuh pesat setelah pengesahan Genius Act oleh Presiden Donald Trump.
Baca Juga: Bitcoin Dekati Rekor Tertinggi Sepanjang Masa, Ini Faktor Pendorongnya
Fokus Institusional
Debut Bullish menjadi salah satu listing langka oleh bursa kripto di AS, mengikuti Coinbase, yang masuk S&P 500 pada Mei.
Didirikan pada 2020, Bullish menargetkan klien institusional dengan strategi yang diharapkan memberi pendapatan lebih stabil dibanding bursa yang bergantung pada volume ritel.
“Strategi institusional murni menempatkan Bullish untuk pendapatan yang lebih stabil dan berulang,” kata Michael Hall, co-CIO Nickel Digital Asset Management.
CEO Bullish Tom Farley sebelumnya menjabat presiden NYSE, pengalaman yang dianggap Hall bisa menjadi pembeda dalam menarik mandat institusional.