Sumber: Reuters | Editor: Handoyo
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Saham perusahaan farmasi di Asia dan Eropa melemah tajam pada Jumat (26/9) setelah Presiden AS Donald Trump mengumumkan rencana penerapan tarif 100% atas impor obat bermerek (branded drugs) mulai 1 Oktober, kecuali produsen sudah membangun fasilitas produksi di Amerika Serikat.
Langkah ini sebelumnya telah diantisipasi pasar, mengingat Trump sejak lama memberi sinyal akan mengenakan tarif pada produk farmasi. Namun, pengumuman resmi tersebut tetap menekan saham-saham dengan eksposur besar ke pasar AS.
Di Jepang, Sumitomo Pharma ditutup turun 3,5%, sementara di Australia, CSL anjlok hingga menyentuh level terendah enam tahun sebelum akhirnya menutup perdagangan dengan pelemahan 1,9%.
Dampak Bervariasi di Kawasan
Menurut Lorraine Tan, Direktur Riset Ekuitas Asia di Morningstar, tarif final kemungkinan lebih rendah melihat pola negosiasi sebelumnya, tetapi ketidakpastian jangka pendek tetap membebani harga saham.
Baca Juga: Bursa Asia Melemah di Pagi Ini (26/9), Terseret Pelemahan Saham Perusahaan Farmasi
Beberapa analis juga menilai dampaknya terbatas bagi produsen Asia karena mayoritas berfokus pada obat generik, bukan branded.
“Ini hanya berlaku untuk branded drugs, tidak mencakup generik yang banyak dipasok China dan India,” jelas Ken Peng, Kepala Strategi Investasi Asia di Citi Wealth.
Ia menambahkan, pertumbuhan sektor kesehatan di Tiongkok baru-baru ini lebih bertumpu pada penjualan hak kekayaan intelektual (IP) ke perusahaan farmasi Barat, sementara ekspor terbesar produk obat bermerek ke AS berasal dari Eropa dan Swiss.
AS Jadi Magnet Investasi Baru
Data UN Comtrade menunjukkan, sekitar 60% impor farmasi AS pada 2024 berasal dari Uni Eropa, dengan Swiss menempati posisi kedua sebesar 9%.
Untuk mengantisipasi kebijakan ini, sejumlah raksasa farmasi global telah mengumumkan investasi miliaran dolar di AS, termasuk AstraZeneca, Roche, Eli Lilly, Johnson & Johnson, Novartis, dan Sanofi.
Namun, proses pembangunan pabrik baru diperkirakan memakan waktu panjang. Seorang sumber di perusahaan farmasi Taiwan mengatakan butuh lima tahun untuk membangun dan mengantongi sertifikasi pabrik baru di AS, belum termasuk hambatan rantai pasok dan tenaga kerja.
“Paling tidak ini tarif global, bukan spesifik negara, sehingga masih ada level playing field. Tapi pada akhirnya yang paling dirugikan bisa jadi adalah pasien,” ujarnya.
Baca Juga: Indeks Topix Cetak Rekor Tertinggi (26/9), Meski Sektor Farmasi Tertekan Tarif AS
Saham Farmasi Eropa, Jepang, hingga India Melemah
Di Eropa, saham Lonza, Novartis, dan Roche terkoreksi sekitar 1,2% pada perdagangan awal, sedangkan Merck turun 1,1% dan Bayer melemah 1,5%.
Di Jepang, Otsuka Holdings jatuh 2,9%, Daiichi Sankyo turun 2%, sementara Takeda Pharmaceutical hanya terkoreksi tipis 0,1% dan Shionogi justru menguat 1%.
Takeda relatif tahan karena memiliki basis produksi terbesar di AS, ungkap CEO Christophe Weber.
Di India, indeks farmasi terkoreksi 2%, dengan seluruh 20 anggotanya melemah, termasuk Sun Pharmaceutical Industries yang turun 3%. Padahal, industri farmasi India didominasi obat generik yang tidak terdampak tarif.
Di Hong Kong, Hang Seng Biotech Index turun 1,5%, sedangkan di Australia, pemerintah menyebut tarif baru itu sebagai “tidak adil dan tidak berdasar” setelah 20 tahun hubungan perdagangan bebas.