Sumber: dailymail, AP | Editor: Dikky Setiawan
NEW YORK. Sekretaris Jenderal United Nation atau Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), Ban Ki-moon, membuat pernyataan mengejutkan.
Jumat kemarin (12/9), diplomat asal Korea Selatan itu menyatakan, bahwa rezim Suriah telah bersalah melakukan banyak kejahatan kemanusiaan.
Pernyataan itu diungkapkan Ban di even Women’s International Forum (WIF) di New York, Amerika Serikat (AS). WIF adalah organisasi para istri diplomat dan wanita diplomat.
WIF dibentuk tahun 1975. WIF didirikan sebagai sarana untuk melibatkan para kaum hawa dalam diskusi yang berkaitan dengan agenda PBB dan peristiwa di dunia internasional.
Dalam forum WIF, Ban meyakini, kelak akan ada ' laporan besar' dari tim inspeksi PBB atas penggunaan senjata kimia oleh rezim Suriah.
“Saya sangat yakin nanti akan ada proses akuntabilitas ketika semua investigasi selesai dilakukan,” katanya.
Tentu, Ban tidak asal bicara. Pernyataan itu ia ungkapkan sesaat sebelum Kepala Inspeksi senjata kimia PBB, Ake Sellstrom, bicara ke media.
Kepada The Associated Press, Sellstrom mengatakan bahwa pihaknya akan menyampaikan laporan hasil temuannya kepada Ban akhir pekan ini.
Rekaman video
Pada 21 Agustus lalu, Pemerintah Suriah dan pemberontak saling menyalahkan atas sebuah serangan yang menewaskan 1.429 orang di pinggiran wilayah Damaskus Ghouta.
Akibat insiden itu, negara-negara barat mengancam serangan militer kepada angkatan bersenjata Suriah yang dipimpin diktator Presiden Bashar Al-Assad.
AS, negara yang mengklaim dirinya sebagai polisi dunia, mengatakan, pihaknya memiliki bukti-bukti jelas yang menunjukkan pemerintah Suriah berada di balik serangan itu.
Tapi, Rusia, sekutu utama rezim Al-Assad tidak yakin dengan bukti yang dimiliki AS.
Tim inspeksi PBB pun diberi mandat menginvestigasi tudingan AS. Upaya ini untuk menetapkan siapa pihak yang paling bertanggung jawab.
Pun demikian, PBB optimistis laporan itu bisa mengungkap pelakunya. Tim inspeksi telah mengumpulkan banyak sampel dari korban serta keterangan para saksi dan dokter.
Seorang pejabat senior intelijen AS, menyatakan, Amerika memiliki data sendiri jumlah korban tewas di Damaskus Ghouta.
Data itu berdasarkan hasil analisis rekaman video yang diambil beberapa jam setelah insiden 21 Agustus lalu.
Korban oposisi Al-Assad yang tewas diduga akibat terkena serangan senjata kimia. Dugaan ini juga diambil dari pengamatan tubuh para korban di kain kafan tanpa mengeluarkan darah.
Indikasi itu semakin menguatkan dugaan, bahwa korban tewas kemungkinan bukan disebabkan oleh serangan roket. Atau, beberapa cara pembunuhan konvensional lainnya.
Penyadapan intelijen AS
Anggota parlemen AS juga menunjukkan transkrip penyadapan komunikasi pejabat Suriah yang merencanakan serangan, baik sebelum maupun sesudah insiden.
Penyadapan itu termasuk komunikasi seorang komandan militer Suriah yang memerintahkan satuan senjata kimia berhenti melakukan penembakan. Sebab, mereka telah sukses melakukan perusakan yang cukup fatal.
Sayangnya, para pejabat intelijen AS mengatakan, bahwa mereka tidak bisa membocorkan transkrip penyadapan komunikasi rezim Suriah itu ke publik. Alasannya, sebagian materi penyadapan didapatkan dari beberapa agen intelijen negara lain.
Kedua pejabat intelijen AS itu juga enggan dikutip namanya, karena mereka tidak berwenang untuk memberikan informasi intelijen kepada publik.
Juru bicara PBB Farhan Haq menyatakan, saat ini laporan tim inspeksi belum selesai. Dia bilang, pernyataan Ban didapat dari informasi sejumlah orang yang berbeda, termasuk para ahli.
Menurut Haq, setelah menerima laporan, Ban akan menggelar sidang bersama negara-negara anggota PBB dan media akan menerima hasil laporan itu secepatnya.
Sellstrom juga belum mengetahui kapan persisnya laporan temuan tim inspeksi PBB akan dipublikasikan untuk umum. Dia hanya bilang, hal itu akan dilakukan, tetapi setelah laporan diberikan kepada Sekjen PBB.
Dalam pidatonya, Ban mengatakan bencana di Suriah telah menciptakan hilangnya generasi anak-anak dan orang muda.
Situasi itu menyebabkan meningkatnya ketegangan sektarian, ketidakstabilan regional, dan pelanggaran berat hak asasi manusia, termasuk kekerasan seksual.
“Pertempuran terbaru ini juga telah mengangkat isu perang senjata kimia, yang jika dikonfirmasi oleh misi penyelidikan PBB, akan menjadi pelanggaran mengerikan di mata hukum internasional,” kata Ban.