Sumber: Reuters | Editor: Barratut Taqiyyah Rafie
KONTAN.CO.ID - SEOUL. Korea Utara terus maju dengan program rudalnya pada tahun 2022. Sebagai bukti, Korea Utara mengambil sejumlah langkah untuk melanjutkan pengujian bom nuklir, kendati dunia tengah dilanda pandemi COVID-19.
Seperti yang diketahui, jumlah kasus sebenarnya dari COVID-19 di Korea Utara masih belum dikonfirmasi di tengah kurangnya pengujian dan pemantauan independen.
Mengutip Reuters, negara itu mengakui wabah COVID-19 pertamanya pada Mei, menyebabkan Korea Utara harus memperpanjang penutupan perbatasan yang sudah ketat dan tindakan anti-pandemi lainnya, menghalangi keterlibatan internasional dan menyebabkan kesengsaraan ekonomi. Kendati begitu, COVID-19 tidak memperlambat uji senjatanya.
Tahun ini memberikan bukti paling jelas bahwa Korea Utara sekarang menganggap dirinya sebagai kekuatan senjata nuklir permanen. Selain itu, Pyongyang tidak berniat melibatkan Amerika Serikat dalam pembicaraan denuklirisasi, kata Evans Revere, mantan diplomat AS.
"Kita berada di wilayah yang berbahaya dan belum dipetakan ketika berhadapan dengan ancaman Korea Utara," katanya. "Kemungkinan denuklirisasi Korea Utara telah hilang sama sekali."
Baca Juga: Respons Kehadiran Drone Korea Utara, Korea Selatan akan Bentuk Unit Drone Khusus
Korea Utara kembali menguji rudal balistik antarbenua (ICBM) untuk pertama kalinya sejak 2017, berhasil meluncurkan Hwasong-17 baru yang masif, yang diyakini memiliki jangkauan untuk menyerang wilayah mana saja di Amerika Serikat.
Pyongyang juga meluncurkan serangkaian rudal jarak pendek yang semakin mumpuni, dalam apa yang dikatakan sebagai strategi untuk menyebarkan senjata nuklir taktis.
Korea Utara juga membuat persiapan untuk membuka kembali tempat uji coba nuklirnya yang ditutup, sehingga meningkatkan prospek uji coba bom nuklir baru untuk pertama kalinya sejak 2017.
Menurut para analis, dengan dunia terganggu oleh pandemi dan perang di Ukraina, serta meningkatnya persaingan antara Washington dan Beijing, pengujian tersebut tampaknya bertujuan untuk membuat langkah nyata dalam meningkatkan kekuatan militer negara tersebut.
"Korea Utara setidaknya bisa berpura-pura terbuka untuk dialog, tetapi kenyataannya tidak demikian," kata Ramon Pacheco Pardo, pakar Korea di King's College London.
Dia menambahkan, "Saya pikir rezim Kim hanya ingin meningkatkan kemampuannya, apa pun konsekuensinya."
Baca Juga: Korea Utara Menembakkan Rudal Balistik ke Laut Lepas Pantai Timur
Korea Utara selama bertahun-tahun dilarang melakukan uji coba nuklir dan peluncuran rudal balistik oleh Dewan Keamanan PBB, yang telah memperkuat sanksi terhadap Pyongyang.
Namun pada bulan Mei, China dan Rusia memveto usulan yang dipimpin AS untuk menjatuhkan lebih banyak sanksi PBB terhadap Korea Utara. Hal itu secara terbuka memecah dewan PBB untuk pertama kalinya sejak mulai menghukum Pyongyang pada tahun 2006.
Amerika Serikat dan sekutunya di Korea Selatan dan Jepang sejak itu beralih ke unjuk kekuatan militer, termasuk latihan bersama dan pengerahan kapal induk dan pembom jarak jauh AS. Namun upaya tersebut sejauh ini sia-sia untuk mencegah pengujian Pyongyang.
Duyeon Kim, dari Center for a New American Security yang berbasis di AS, mengatakan uji coba rudal Korea Utara telah memungkinkannya untuk menyempurnakan dan dalam beberapa kasus secara operasional menyebarkan kemampuan baru yang memungkinkan penggunaan senjata nuklir secara cepat dalam hal serangan konvensional dan nuklir.
“Senjata nuklir taktis berbahaya karena dapat memulai perang baik dengan salah perhitungan, pembalasan, atau pencegahan, dan ambang penggunaan senjata nuklir akan lebih rendah lagi,” katanya.