Reporter: Akmalal Hamdhi | Editor: Anna Suci Perwitasari
KONTAN.CO.ID – JAKARTA. Harga minyak dunia melonjak lebih dari 2% akibat situasi yang memanas di Laut Merah. Serangan Houthi terhadap kapal-kapal di jalur tersebut telah menimbulkan kekhawatiran terkendalanya pengiriman minyak.
Presiden Komisioner HFX International Berjangka Sutopo Widodo mengatakan, risiko geopolitik telah meningkatkan harga minyak mentah, yang memaksa pengirim untuk mengalihkan pengiriman ke sekitar ujung selatan Afrika daripada melalui Laut Merah, sehingga mengganggu pasokan minyak mentah.
Setidaknya dua puluh lima kapal dagang telah diserang atau didekati di sekitar Yaman oleh militan Houthi yang didukung Iran di Laut Merah sejak perang Israel dengan Hamas pecah pada bulan Oktober.
Sutopo menyebutkan, meningkatnya risiko geopolitik telah memberikan dorongan pada harga minyak mentah, setelah militer Amerika Serikat (AS) melancarkan serangan terhadap 3 instalasi di Irak untuk menargetkan kelompok teroris yang didukung oleh Iran yang dituduh melakukan serangkaian serangan pesawat tak berawak terhadap pasukan Amerika.
Selain itu, angkatan laut Inggris pada hari Selasa (26/12) melaporkan serangan terhadap 2 kapal komersial yang berlayar di Laut Merah dekat Yaman. Seorang pejabat Israel juga mengatakan kepada media pada hari Selasa bahwa perang Gaza akan berlangsung selama berbulan-bulan.
Baca Juga: AS Borong 3 Juta Barel Minyak untuk Mengisi Ulang Cadangan
“Narasi tersebut memicu kekhawatiran akan konflik geopolitik yang lebih dalam di Timur Tengah yang dapat mengganggu aliran minyak,” kata Sutopo kepada Kontan.co.id, Rabu (27/12).
Sutopo menambahkan, laporan ekonomi AS pada hari Selasa turut memberikan kesan bullish untuk pasar energi. Berita ekonomi AS hari Selasa menunjukkan kekuatan ekonomi AS yang mendukung permintaan energi dan harga minyak mentah.
Indeks aktivitas nasional Fed Chicago bulan November naik 0,69 ke level tertinggi 4 bulan di 0,03. Selain itu, indeks harga rumah komposit-20 S&P CoreLogic bulan Oktober naik 4,87% YoY, terbesar dalam 11 bulan.
Selain itu, indeks prospek manufaktur The Fed Dallas bulan Desember naik 10,6 ke level tertinggi 11 bulan di -9,3, lebih kuat dari ekspektasi -17,0.
Hanya saja, sentimen pendukung dari konflik di Laut Merah bagi harga minyak mentah tidak berlangsung lama. Harga minyak mentah berjangka WTI turun menuju US$75 per barel pada hari Rabu (27/12), seiring langkah perusahaan pelayaran besar mulai kembali ke Laut Merah, meskipun terjadi serangan terus-menerus dan ketidakpastian geopolitik di Timur Tengah.
Maersk dari Denmark dan CMA CGM dari Prancis mengatakan bahwa mereka melanjutkan perjalanan melalui Laut Merah, menyusul pembentukan satuan tugas maritim pimpinan AS yang diberi mandat untuk melindungi kapal-kapal komersial di wilayah tersebut.
Baca Juga: Harga Minyak Dunia Naik Lebih dari 2% di Tengah Serangan Kapal di Laut Merah
Analis Komoditas Lukman Leong mengamati, terdapat beberapa faktor pendukung kenaikan harga minyak mentah akhir-akhir ini. Selain gangguan pasokan dari konflik di Laut Merah, faktor lainnya adalah pelemahan dolar AS dan harapan yang meningkat apabila The Fed memangkas suku bunga di Maret 2024.
Ekspektasi The Fed memangkas suku bunga muncul setelah serangkaian data ekonomi yang lebih lemah dari harapan seperti inflasi dan Produk Domestik Bruto (PDB).
“Harapan pemangkasan suku bunga oleh bank-bank sentral dunia akan mendukung harga untuk jangka panjang. Investor berharap kebijakan yang lebih longgar dari bank sentral akan mendukung permintaan komoditas energi,” jelas Lukman kepada Kontan.co.id, Rabu (27/12).
Lukman menjelaskan, efek dari pelonggaran kebijakan moneter bank sentral akan berdampak pada permintaan komoditas energi seperti minyak dunia, gas alam ataupun batu bara. Permintaan yang meningkat akan mengimbangi kondisi pasokan komoditas yang meningkat.
Faktor China sebagai konsumen terbesar komoditas energi akan menentukan pergerakan harga. Batubara akan lebih ditentukan oleh permintaan China, sedangkan gas alam masih terus tertekan oleh produksi AS yang terus meningkat
Namun, Lukman menilai, kebijakan produksi dari OPEC+ merupakan faktor yang paling utama pada harga minyak mentah. Organisasi negara pengekspor minyak itu akan terus berusaha mendukung harga di atas US$70 per barel dengan cara mengkontrol produksi.
Baca Juga: Harga Minyak Naik Tipis Pada Selasa (26/12) Pagi
“Melihat informasi yang ada dan perkembangan saat ini, konflik di Laut Merah masih akan berkelanjutan dan mendukung harga minyak. Namun yang paling utama saya tetap melihat kebijakan produksi OPEC+,” ujarnya.
Menurut Lukman, kebijakan OPEC+ saat ini memang masih belum maksimal. Dengan sikap mereka sekarang nampaknya akan susah menaikkan harga di atas US$80 per barel. Namun, OPEC+ juga berusaha mencari titik seimbang harga selama di atas US$70 per barel.
Sutopo menerangkan bahwa selisih pendapat di organisasi OPEC+ telah menjadi faktor bearish bagi harga minyak. Di mana, pekan lalu Angola meninggalkan OPEC di tengah perselisihan mengenai kuota produksi minyak.
Perlu diketahui, Angola adalah produsen minyak mentah terbesar kedua di Afrika, dan perselisihan antara Angola dan anggota OPEC+ lainnya merupakan faktor bearish yang menandakan pertikaian antar anggota.
Sutopo melihat, anggota OPEC lainnya mungkin menolak keras upaya Arab Saudi yang memaksa semua anggotanya melakukan pengurangan produksi. Pada tanggal 30 November 2023 lalu, OPEC+ setuju untuk memangkas produksi minyak mentah sebesar -1,0 juta barel per hari hingga Juni 2024.
Namun, para delegasi mengatakan rincian akhir dari perjanjian baru tersebut, termasuk tingkat produksi nasional akan diumumkan secara individual oleh masing-masing negara dan bukan dalam komunike OPEC+ yang lazim.
"Pasar kecewa karena pengurangan tambahan produksi minyak mentah OPEC akan diumumkan oleh masing-masing negara, yang menunjukkan bahwa pengurangan tersebut mungkin hanya bersifat sukarela," ungkap Sutopo.
Baca Juga: Diramal Masih Tertekan, Begini Prospek Harga Batubara pada Tahun Depan
Sutopo memperkirakan harga minyak mentah WTI diperkirakan diperdagangkan pada US$ 75 per barel pada awal tahun 2024. Terdapat kemungkinan menguji level harga US$ 80 per barel, jika situasi geopolitik tidak mereda.
Sementara Lukman memperkirakan harga minyak akan berkisar US$ 80 di semester I 2024. Sedangkan harga gas alam AS diproyeksi bergerak dalam rentang US$ 2 MMBTU - US$ 2,25 MMBTU. Batubara diproyeksi bergerak dalam kisaran US$ 125 per ton - US$ 140 per ton di awal tahun 2024.