Sumber: Channelnewsasia.com | Editor: Yudho Winarto
KONTAN.CO.ID - SINGAPURA. Singapura akan memberlakukan sanksi keuangan dan larangan masuk negara secara langsung terhadap empat warga Israel karena terlibat dalam “tindakan kekerasan ekstremis” terhadap warga Palestina di Tepi Barat.
Keempat warga Israel tersebut adalah Meir Mordechai Ettinger, Elisha Yered, Ben-Zion Gopstein, dan Baruch Marzel.
Kementerian Luar Negeri Singapura (MFA) menilai tindakan mereka “melanggar hukum dan mengancam prospek solusi dua negara.”
Baca Juga: Draf COP30 Hapus Usulan Kesepakatan Transisi Energi Fosil
“Singapura menegaskan bahwa pemukiman Israel di Tepi Barat ilegal menurut hukum internasional. Kehadiran dan ekspansi mereka akan mempersulit tercapainya solusi dua negara yang layak,” kata MFA.
Singapura juga menyerukan pemerintah Israel untuk menahan kekerasan para pemukim dan menindak pelaku secara hukum.
Profil Empat Terkenal
Meir Mordechai Ettinger, 34, anggota terkemuka Hilltop Youth, terlibat dalam serangan pembakaran rumah Palestina pada 2015 yang menewaskan dua orang tua dan anak 18 bulan. Ia telah disanksi oleh Uni Eropa, Kanada, dan Australia.
Elisha Yered, anggota Hilltop Youth, pada 2023 ikut menembaki sebuah desa Palestina, menewaskan seorang pemuda 19 tahun dan melukai beberapa lainnya.
Ia sempat dilarang memasuki Tepi Barat oleh IDF selama enam bulan dan juga disanksi UE, Kanada, dan Australia.
Baca Juga: Jepang Siap Nyalakan Kembali Pembangkit Nuklir Terbesar di Dunia
Ben-Zion Gopstein, 56, pendiri dan pemimpin Lehava, divonis bersalah pada 2024 karena hasutan rasisme terhadap warga Arab antara 2012–2017.
Ia juga dilarang mencalonkan diri dalam pemilihan Knesset 2019 dan disanksi oleh UE dan Kanada.
Baruch Marzel, 66, pimpinan Lehava dan mantan pemimpin partai ekstremis Kach yang dibubarkan pada 1994, dikenal menyerukan pembersihan etnis terhadap warga Palestina dan pembentukan Israel Raya tanpa keberadaan Palestina. Ia juga disanksi UE.
Menteri Luar Negeri Singapura, Vivian Balakrishnan, menekankan bahwa sanksi ini lebih bersifat simbolis untuk menunjukkan ketidaksetujuan Singapura terhadap kekerasan pemukim ekstremis, bukan untuk mengubah kondisi di lapangan secara langsung.













