kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • EMAS 1.907.000   -4.000   -0,21%
  • USD/IDR 16.212   -17,00   -0,10%
  • IDX 6.865   -12,86   -0,19%
  • KOMPAS100 999   -3,55   -0,35%
  • LQ45 764   -2,07   -0,27%
  • ISSI 226   -1,00   -0,44%
  • IDX30 393   -1,12   -0,29%
  • IDXHIDIV20 455   -0,68   -0,15%
  • IDX80 112   -0,32   -0,28%
  • IDXV30 114   0,03   0,02%
  • IDXQ30 127   -0,74   -0,58%

Terkepung Pagar Israel, Warga Kota di Tepi Barat Hidup Seperti dalam Penjara


Jumat, 04 Juli 2025 / 22:32 WIB
Terkepung Pagar Israel, Warga Kota di Tepi Barat Hidup Seperti dalam Penjara
ILUSTRASI. Sebuah pagar logam setinggi lima meter kini membelah bagian timur kota Sinjil, wilayah Palestina di Tepi Barat yang diduduki Israel. REUTERS/Mohammed Torokman 


Sumber: Reuters | Editor: Handoyo

KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Sebuah pagar logam setinggi lima meter kini membelah bagian timur kota Sinjil, wilayah Palestina di Tepi Barat yang diduduki Israel. Dengan hanya satu jalur keluar-masuk yang dijaga ketat oleh tentara Israel, warga menyebut kota mereka telah berubah menjadi "penjara besar tanpa atap."

“Sinjil sekarang seperti penjara besar,” kata Mousa Shabaneh, 52 tahun, ayah dari tujuh anak, sambil menyaksikan pekerja memasang pagar di tengah kebun bibit tempat ia menggantungkan hidup.

“Kami sekarang dilarang pergi ke kebun. Semua pohon saya hangus dan hilang. Pada akhirnya, mereka memutus sumber penghidupan kami.”

Pagar Pembatas Semakin Meluas Sejak Perang Gaza

Pagar di Sinjil hanyalah satu dari banyak hambatan baru yang bermunculan di seluruh Tepi Barat sejak perang Gaza dimulai pada Oktober 2023. Sejumlah warga menyebut situasi ini sebagai "pengepungan permanen" atas kota-kota Palestina, yang membuat mobilitas dan akses terhadap lahan pertanian serta mata pencaharian menjadi nyaris mustahil.

Baca Juga: PBB Ungkap Perusahaan Raksasa Dunia Terlibat 'Genosida' Israel di Gaza, Siapa Saja?

Militer Israel menyatakan bahwa pagar tersebut dipasang untuk melindungi jalan raya utama Ramallah-Nablus dari potensi serangan dan gangguan keamanan.

“Mengingat insiden teror berulang di wilayah ini, pagar dibangun untuk mencegah pelemparan batu dan gangguan ketertiban umum,” demikian pernyataan militer.

Namun, meskipun warga masih diizinkan keluar masuk lewat satu jalur, banyak yang menilai pembatasan ini hanya sebatas formalitas, karena kenyataannya mereka telah terisolasi dari sebagian besar lahan milik mereka sendiri.

8.000 Warga Terjebak di Area 10 Hektare

Menurut Wakil Wali Kota Sinjil, Bahaa Foqaa, sekitar 8.000 warga kini hanya bisa bergerak di atas lahan seluas 10 hektare, dan diputus dari 2.000 hektare tanah pertanian yang secara sah mereka miliki.

“Ini adalah taktik intimidasi dari tentara pendudukan untuk menghancurkan semangat rakyat Palestina,” ujarnya.

Israel menyatakan bahwa pembatasan ini diperlukan demi keamanan pemukim Yahudi yang tinggal di wilayah pendudukan. Israel Gantz, kepala Dewan Regional Binyamin yang menaungi 47 permukiman Yahudi di wilayah tersebut, menyebut warga Sinjil melakukan serangan terhadap kendaraan hanya karena pengendaranya adalah Yahudi.

“Membuka pembatasan terhadap warga Arab Palestina tanpa syarat hanya akan mendorong pembantaian massal terhadap Yahudi,” ujarnya.

Baca Juga: Netanyahu: Kemenangan atas Iran Buka Peluang Bebaskan Sandera di Gaza

Pemerintah Sayap Kanan dan Agenda Aneksasi

Saat ini, sekitar 700.000 warga Israel tinggal di wilayah Palestina yang diduduki sejak 1967, dan mayoritas negara di dunia menganggap permukiman tersebut melanggar hukum internasional. Namun Israel menolak pandangan itu dan mengklaim permukiman sah atas dasar sejarah dan keyakinan agama.

Pemerintahan Israel saat ini, yang didominasi oleh kelompok sayap kanan dan aktivis pemukim, secara terbuka menyuarakan keinginan untuk menganeksasi seluruh wilayah Tepi Barat, mengubur prospek solusi dua negara.

“Setengah Hidup Kami Dihabiskan di Jalan”

Pembatasan mobilitas bukan hanya merugikan ekonomi warga, tapi juga memengaruhi kehidupan pribadi. Sana Alwan, 52 tahun, seorang pelatih pribadi asal Sinjil, mengatakan bahwa perjalanan ke Ramallah yang dulu hanya butuh beberapa menit kini bisa memakan waktu hingga tiga jam sekali jalan, tergantung dari keberadaan pos pemeriksaan militer.

“Setengah hidup kami habis di jalan,” katanya. Ia kini kehilangan banyak klien karena tak bisa menjanjikan waktu kedatangan.

Mohammad Jammous, 34 tahun, yang tinggal di Ramallah, mengaku kini hanya bisa mengunjungi keluarganya di Jericho sekali sebulan.

“Dulu tiap minggu. Sekarang bisa butuh tiga jam pergi dan tiga jam pulang,” katanya.

Baca Juga: AS Mendadak Siapkan Bantuan Senilai US$ 30 Juta untuk Gaza

Pos Pemeriksaan Mendadak dan Perekonomian yang Tercekik

Setelah serangan Hamas pada Oktober 2023, Israel meningkatkan kehadiran militernya di Tepi Barat. Jalan-jalan ditutup dengan gundukan tanah, batu besar, dan gerbang logam. Pos pemeriksaan mendadak ("flying checkpoints") menjadi lebih sering dan tak terduga.

Larangan bekerja di Israel telah memutus mata pencaharian puluhan ribu warga Palestina. Di awal 2025, ribuan warga Tepi Barat juga kehilangan tempat tinggal akibat operasi militer Israel di Jenin.

Pejabat Otoritas Palestina menilai kebijakan ini disengaja untuk memiskinkan dan melemahkan rakyat Palestina, meski mereka juga memperingatkan bahwa tekanan berlebihan bisa mendorong lebih banyak pemuda ke arah kelompok militan.

“Mereka melakukan segalanya untuk membuat hidup rakyat kami nyaris tak tertahankan,” kata Perdana Menteri Palestina Mohammad Mustafa.

Selanjutnya: Jakarta Fair 2025 Sediakan Tes HPV DNA Gratis untuk Pengunjung

Menarik Dibaca: Promo Boombastrip 7.7 Trip.com Beri Diskon hingga Rp 1 juta untuk Tiket Pesawat




TERBARU
Kontan Academy
Owe-some! Mitigasi Risiko SP2DK dan Pemeriksaan Pajak

[X]
×