Sumber: A.P | Editor: Barratut Taqiyyah Rafie
SHANGHAI. Neraca perdagangan China yang pada kuartal II lalu mengalami surplus, diperkirakan akan mengalami penurunan. Penyebabnya, lemahnya permintaan dari AS dan Eropa menyebabkan bank sentral Negeri Tirai Bambu itu menahan laju penguatan mata uang yuan.
Catatan saja, Presiden Bank Sentral Eropa Jean Claude Trichet pada 4 September lalu mengatakan bahwa Eropa tengah memasuki episode pelemahan aktivitas. Sementara, resesi kredit perumahan terparah di AS menyebabkan penurunan permintaan dari AS.
Berdasarkan estimasi 22 ekonom yang disurvei Bloomberg, surplus pada neraca perdagangan China akan mengalami penurunan sebesar 6,4% menjadi US$ 23,55 miliar pada Agustus dibanding tahun sebelumnya.
“Ekspor ke Eropa akan melambat hingga akhir tahun karena kawasan tersebut masih terkena dampak kredit perumahan berbasis subprime di AS. Jika melihat gambaran ekspor, sudah bisa dipastikan kalau nilai yuan tidak dapat terus menguat,” kata Li Wei, ekonom Standard Chartered Bank Plc di Shanghai.
Meski demikian, tingkat ekspor diperkirakan meningkat 20,6% pada Agustus kemarin. Hanya saja, angka tersebut masih lebih rendah dibanding tingkat ekspor pada Juli yang mencapai 26,9%. Sementara, pada periode yang sama, tingkat impor mengalami pertumbuhan 28,7%. Nilai ini relatif lebih rendah dibanding tingkat impor bulan Juli yang mengalami pertumbuhan 33,7%.
Adanya faktor-faktor itu yang membuat para penentu kebijakan China lebih memfokuskan diri untuk menjaga pertumbuhan perekonomian dan ketersediaan tenaga kerja dibanding menurunkan tingkat inflasi. Menurut 23 ekonom yang disurvei Bloomberg, tingkat inflasi pada Agustus kemarin mengalami penurunan menjadi 5,4% dari 6,3% pada bulan Juli.
Di China, banyak perusahaan yang bangkrut
Menurut Zhang Xiaojing, peneliti Chinese Academy of Social Science, pada bulan ini pemerintah memutuskan untuk menghentikan kebijakannya dalam menggunakan apresiasi terhadap yuan untuk meredam laju inflasi. Pasalnya, hal itu menambah beban terhadap perusahaan dan menjadi bumerang bagi pertumbuhan ekonomi jangka panjang.
Adanya kenaikan upah tenaga kerja dan bahan baku menambah tekanan bagi para eksportir China. Padahal, saat ini, mereka tengah menghadapi adanya penguatan mata uang dan menurunnya permintaan. Jumlah perusahaan produsen mainan di Provinsi Guangdong, sejak awal tahun hingga Juli mengalami penurunan drastis yang mencapai 70%. Menurut berita yang dirilis kantor berita Xinhua, diperkirakan, sekitar 3.600 perusahaan bangkrut dan pada akhirnya memutuskan untuk menutup perusahaannya.
Tidak hanya perusahaan kecil, perusahaan besar pun mengambil beberapa strategi lain untuk menyelamatkan perusahaan. Salah satunya adalah Kingdom Holdings Ltd., yang merupakan eksportir terbesar bahan linen China. Pada 5 September lalu, Kingdom bilang bahwa pihaknya akan meningkatkan produksinya untuk konsumsi domestik. Langkah ini dilakukan setelah Kingdom mengalami kerugian yang tidak sedikit akibat penguatan yuan dan melemahnya permintaan dari AS dan Eropa pada semester pertama tahun ini.
Sekadar tambahan informasi, pada kuartal II, perekonomian China mengalami pertumbuhan 10,1%. Turun 0,5% dibanding kuartal I yang mencapai pertumbuhan 10,6%. Pertumbuhan tersebut masih merupakan yang tercepat di dunia jika dibandingkan dengan 20 negara maju lainnya.