Reporter: Barratut Taqiyyah Rafie | Editor: Barratut Taqiyyah Rafie
KONTAN.CO.ID - LONDON. Guncangan ekonomi yang terburuk belum dialami Turki. Seperti yang diketahui, lira Turki sudah anjlok lebih dari 40% terhadap dollar AS sejak Januari lalu. Pelemahan terjadi seiring dengan adanya konfrontasi politik dengan Amerika Serikat, kebingungan atas penerapan kebijakan ekonomi, hingga kenaikan suku bunga AS.
Warga Turki yang berharap krisis ini akan segera berakhir, sepertinya akan kecewa.
Hingga saat ini, Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan masih tetap keras kepala. Dia mengabaikan imbauan agar diberlakukan kebijakan ekonomi darurat demi menyokong lira dan menghambat hengkangnya dana asing yang keluar dari Turki. Bahkan, Erdogan terus membuat investor cemas dengan bersikeras untuk tidak menaikkan suku bunga acuan, yang dinilai analis bisa menjadi resep untuk memperbaiki ekonomi Turki.
"Saya rasa market tidak akan mengubah pikirannya. Tekanan akan terus berlangsung hingga Erdogan melakukan putar balik (U-turn)," jelas Carsten Hesse, ekonom Berenberg.
Masalah utama
Kenaikan suku bunga acuan oleh The Federal Reserve AS telah menyebabkan negara-negara emerging market tertekan dalam beberapa bulan terakhir. Pasalnya, investor lebih memilih menyimpan dananya ke negara-negara yang memberikan imbal hasil lebih tinggi seperti AS.
Turki merupakan salah satu negara yang perekonomiannya sangat rentan atas tren kenaikan suku bunga ini. Meski demikian, Turki bukanlah satu-satunya. Argentina juga sudah meminta dana talangan kepada Badan Moneter Internasional (IMF) senilai US$ 50 miliar pada Juni lalu.
Banyak perusahaan Turki yang tengah berupaya untuk memangkas nilai beban pinjaman dalam beberapa tahun terakhir dengan mengambil pinjaman dalam mata uang asing. Pengamat ekonomi khawatir, perusahaan tersebut akan tengkurap karena pinjaman mereka akan melonjak berkali-kali lipat.
Dengan tingkat inflasi yang sudah berada di level dua digit, pelemahan mata uang akan menyebabkan produk-produk impor semakin mahal di Turki.
Turki mungkin saja mencari suntikan dana segar dari luar negeri. Tapi pilihannya sangat terbatas.
Tidak seperti bailout yang diterima Yunani, Turki bukanlah anggota dari Uni Eropa dan negara ini juga tidak menggunakan euro. Itu artinya, Bank Sentral Eropa dan negara-negara kaya di bagian Utara Eropa tidak akan mau membiayai Turki.
Di sisi lain, hubungan dengan AS saat ini lebih tegang dibanding sebelumnya. Turki saat ini menahan seorang pastur Amerika, dan pemerintahan Trump mengumumkan rencananya untuk menaikkan pajak logam sebesar dua kali lipat.
Pemerintah Turki mungkin saja bisa mencari pinjaman ke China, Qatar, atau Rusia. Mengutip media Rusia, pada Jumat lalu, Erdogan sudah berbicara dengan Presiden Rusia Vladimir Putin. Perbincangan antar kedua belah pihak meliputu hubungan kerjasama yang lebih erat di sektor ekonomi dan perdagangan.
Tapi, pertolongan yang datang akan dibayar dengan harga yang sangat mahal.
"Saya bisa bayangkan bahwa sejumlah negara akan memberikan sejumlah uang kepada Turki. Mereka bisa membeli pengaruh politik yang besar dengan harga yang murah," kata Hesse seperti yang dikutip MoneyCNN.
Apa yang bisa Erdogan lakukan
Beberapa pekan terakhir, investor sangat cemas dengan minimnya aksi penangkalan krisis lira oleh bank sentral Turki.
Para kritikus mengatakan, keputusan bank sentral sangat dipengaruhi oleh Erdogan. Hal ini sudah dia indikasikan saat kampanye presiden beberapa waktu lalu. Pada waktu itu, dia mengatakan ingin mengontrol kebijakan bank sentral dan menggambarkan kenaikan suku bunga acuan sebagai "bapak dan ibu seluruh setan".
Meskipun Erdogan menentang kenaikan suku bunga, namun dia tidak merinci argumen mengapa bank sentral Turki harus tetap mempertahankan suku bunga rendah.
Hesse menilai, kebijakan yang diumumkan bank sentral pada Senin (13/8) kemarin diibaratkan seperti mematikan kebakaran hutan dengan selang kebun. "Kenaikan suku bunga acuan hingga 10 percentage points dibutuhkan untuk mengembalikan kepercayaan," tegasnya.
Market juga akan menyambut baik membaiknya hubungan dengan AS. Pada Senin, hanya ada sedikit sinyal bahwa Erdogan akan melunak.
"Anda adalah partner strategis di NATO dan di sisi lain Anda menikam aliansi Anda dari belakang? Apakah ini bisa diterima?" demikian kata Erdogan saat berpidato di Ankara.
Jika krisis ini berlanjut, Erdogan sepertinya harus mengganti taktik.
"Erdogan akan berupaya apa saja untuk mencegah bailout IMF, karena mereka akan masuk dan meminta penghematan besar-besaran. Ini akan menjadi kekalahan politik yang besar baginya," jelas Hesse.