Sumber: Reuters | Editor: Barratut Taqiyyah Rafie
Secara keseluruhan, penelitian yang mengambil data dari 194 negara, menunjukkan bahwa bekerja 55 jam atau lebih dalam seminggu dikaitkan dengan risiko stroke 35% lebih tinggi dan risiko kematian akibat penyakit jantung iskemik 17% lebih tinggi dibandingkan dengan bekerja selama 35-40 jam per minggu.
Studi tersebut mencakup periode 2000-2016, dan tidak termasuk pandemi Covid-19. Akan tetapi, pejabat WHO mengatakan, lonjakan pekerja jarak jauh dan perlambatan ekonomi global akibat darurat virus corona mungkin telah meningkatkan risiko jam kerja lebih panjang.
"Pandemi mempercepat perkembangan yang dapat mendorong tren peningkatan waktu kerja," kata WHO, memperkirakan bahwa setidaknya 9% orang bekerja dengan jam kerja yang panjang.
Baca Juga: Panel WHO: Banyak negara abaikan ancaman pandemi dan tidak siap menghadapinya
Staf WHO, termasuk ketuanya Tedros Adhanom Ghebreyesus, mengatakan mereka telah bekerja berjam-jam selama pandemi. Sementara, Neira mengatakan, badan PBB akan berusaha memperbaiki kebijakannya sehubungan dengan penelitian tersebut.
Menurut petugas teknis WHO Frank Pega, capping hour atau kesepakatan jam kerja akan bermanfaat bagi pengusaha karena telah terbukti meningkatkan produktivitas pekerja.
"Ini benar-benar pilihan cerdas untuk tidak menambah jam kerja panjang dalam krisis ekonomi," kata Pega.