Sumber: Reuters | Editor: Noverius Laoli
Selama beberapa dekade, China telah menjadi mesin pertumbuhan ekonomi utama dunia serta kunci utama dalam rantai pasokan industri. Perlambatan ekonomi yang berkepanjangan atau gangguan logistik baru, baik karena Covud atau ketegangan geopolitik, akan bergema secara global.
Xi lebih lanjut mengonsolidasikan kekuasaannya dalam proses yang dimulai ketika dia pertama kali menjabat satu dekade lalu, sebuah konsentrasi yang telah membawa China ke arah yang lebih otoriter dan yang diperingatkan para kritikus meningkatkan risiko kesalahan langkah kebijakan.
Segera setelah kongres Partai Komunis bulan Oktober, investor global membuang aset China dan mata uang yuan jatuh ke level terlemahnya dalam hampir 15 tahun di tengah kekhawatiran bahwa keamanan dan ideologi akan semakin mengalahkan pertumbuhan dan detente internasional selama masa jabatan Xi yang ketiga.
Baca Juga: Ancaman China Semakin Menjadi-jadi, Taiwan Perpanjang Wajib Militer jadi 1 tahun
Apa Artinya di Tahun 2023?
Sejak kongres tersebut, China telah membalikkan nol-Covid dan mengatakan akan fokus pada menstabilkan ekonominya pada tahun 2023.
Penanganan infeksi yang menjamur di populasi besar dengan sedikit "kekebalan kelompok" adalah tantangan Xi yang paling mendesak, dengan implikasi bagi kesehatan masyarakat serta stabilitas sosial dan ekonomi.
Para ahli memperingatkan bahwa China, rumah bagi 1,4 miliar orang, dapat mengalami lebih dari 1 juta kematian terkait COVID di tahun mendatang.
Baca Juga: Bisnis Kesehatan Kian Menjanjikan, Begini Rencana Primed Sambut 2023
Pada pertemuan parlemen tahunannya di bulan Maret, China akan menyelesaikan transisi kepemimpinannya, dengan ketua partai Shanghai Li Qiang, sekutu dekat Xi, siap menggantikan Li Keqiang yang pensiun sebagai perdana menteri, peran yang ditugaskan untuk mengelola ekonomi.
Bank Dunia mengharapkan pembukaan kembali ekonomi China akan mengangkat pertumbuhan menjadi 4,3% pada tahun 2023 dari perkiraan 2,7% untuk tahun ini.
Secara diplomatis, Xi tampaknya mencoba untuk mendinginkan beberapa ketegangan yang telah membuat hubungan dengan Barat semakin tegang, bahkan ketika Beijing mencoba untuk menopang posisinya sebagai penyeimbang tatanan pasca-Perang Dunia Kedua yang dipimpin AS dengan penjangkauan seperti kunjungan ke Arab Saudi baru-baru ini.