Sumber: Sputnik News | Editor: Prihastomo Wahyu Widodo
KONTAN.CO.ID - STOCKHOLM. Institut Penelitian Perdamaian Internasional Stockholm (SIPRI) pada hari Senin (14/6) merilis laporan baru mengenai jumlah senjata nuklir yang dalam status bersiaga di seluruh dunia. Dalam catatannya, SIPRI menemukan ada 2.000 senjata nuklir di seluruh dunia yang siap diluncurkan.
SIPRI mengakui bahwa jumlah persenjataan nuklir telah menurun sejak Perang Dingin berakhir. Tetapi, tren penurunan mulai berubah dalam beberapa tahun terakhir.
"Ada tren baru yang signifikan, semua orang harus melihatnya sebagai peringatan. Kita harus berhati-hati untuk kembali ke semacam perlombaan senjata antara kekuatan nuklir," ungkap peneliti SIPRI Hans Kristensen dalam wawancaranya dengan kanal televisi Swedia, SVT.
Baca Juga: Pengawas nuklir PBB: Ada indikasi pekerjaan plutonium di Korea Utara
Dilansir Sputnik News, antara tahun 2020 dan 2021, jumlah hulu ledak dalam dalam persediaan nuklir militer meningkat sekitar 300. Semuanya merupakan senjata nuklir yang dikerahkan di unit operasional dan di depot militer.
SIPRI melaporkan saat ini ada sekitar 2.000 senjata nuklir di seluruh dunia dengan status siaga tinggi, sebagian besar adalah persenjataan milik Amerika Serikat (AS) dan Rusia.
AS dan Rusia sepanjang tahun lalu dilihat cukup konsisten membongkar hulu ledak yang sudah pensiun, membuat jumlahnya mulai berkurang. Di sisi lain, kedua negara diperkirakan memiliki sekitar 50 lebih banyak hulu ledak nuklir dalam penyebaran operasional pada awal tahun 2021.
SIPRI menyebut peningkatan itu terjadi terutama melalui penyebaran rudal balistik antarbenua (ICBM) berbasis darat dan rudal balistik berbasis kapal selam (SLBM).
Baca Juga: Rusia vs AS: Ini peta kekuatan senjata strategis, mulai rudal hingga pembom
Negara pemilik senjata nuklir lain seperti Inggris, baru saja meninjau kebijakan keamanannya pada Maret 2021 dan membalikkan kebijakan sebelumnya untuk mengurangi persenjataan nuklir negara. Hasilnya, Inggris berencana menaikkan batas jumlah senjata nuklir dari 180 menjadi 260.
China terbilang cukup stabil di tengah-tengah modernisasi yang signifikan dan perluasan persediaan senjata nuklirnya. Sementara India dan Pakistan juga tampaknya memperluas persenjataan nuklir mereka, ungkap SIPRI.
Korea Utara yang kerap menjadi sorotan juga diprediksi akan tetap melanjutkan program nuklirnya meskipun desakan denuklirisasi terus datang dari negara-negara barat yang dimotori AS.
Sembilan negara pemilik senjata nuklir, yakni AS, Rusia, Inggris, Prancis, Cina, India, Pakistan, Israel, dan Korea Utara diperkirakan memiliki 13.080 hulu ledak di awal tahun 2021. Jumlahnya turun dari 13.400 di awal tahun 2020 karena banyak senjata nuklir lama yang telah dibongkar.
Baca Juga: AS tuding China menolak pembicaraan senjata nuklir
Potensi penggunaan senjata nuklir dalam perang meningkat
Peningkatan jumlah senjata nuklir global praktis turut meningkatkan potensi penggunaannya dalam konflik bahkan perang berskala besar di masa depan.
Hal ini juga menjadi salah satu kekhawatiran SIPRI, mengingat beragam bibit konflik mulai terlihat di berbagai belahan dunia. Laut China Selatan, Timur Tengah, hingga Laut Baltik jadi beberapa titik paling rawan saat ini.
"Kami percaya bahwa risiko, probabilitas meningkat. Ketika mereka (negara) memodernisasi kekuatan mereka, mereka juga lebih menekankan pada senjata nuklir dalam strategi militer mereka," ungkap Kristensen.
Di sisi lain, Kristensen bersama SIPRI meyakinkan bahwa situasi keamanan global saat ini tidak setegang era Perang Dingin dahulu meskipun tanda-tanda perlombaan senjata semakin mudah dilihat.