Reporter: Avanty Nurdiana | Editor: Avanty Nurdiana
KONTAN.CO.ID - BEIJING. Aktivitas sektor manufaktur di China terus menunjukkan kontraksi untuk bulan keempat berturut-turut pada Juli. Menurut survei resmi yang dirilis Kamis (31/7) mengindikasikan lonjakan ekspor akibat penghindaran tarif baru AS mulai mereda, sementara permintaan domestik masih lemah.
Biro Statistik Nasional China (NBS) mencatat data purchasing managers' index (PMI) turun menjadi 49,3 pada Juli dari 49,7 di Juni. Angka ini di bawah ambang batas 50 yang memisahkan ekspansi dan kontraksi, serta lebih rendah dari perkiraan median dalam jajak pendapat Reuters yang memproyeksikan angka 49,7. Ini merupakan level terendah sejak April.
Meskipun pejabat AS dan China baru saja sepakat untuk memperpanjang gencatan tarif 90 hari, para pengambil kebijakan di ekonomi terbesar kedua dunia ini masih dihadapkan pada masalah kelebihan kapasitas industri, kelemahan pasar properti, dan permintaan konsumen yang lesu.
Baca Juga: AS Umumkan Tarif untuk Produk Malaysia pada Jumat (1/8), Usai Pembicaraan Anwar-Trump
"Momentum ekspor kemungkinan akan melambat setelah percepatan besar-besaran pada paruh pertama tahun ini," kata Xu Tianchen, ekonom senior Economist Intelligence Unit dikutip Reuters. Namun ia menambahkan China masih memiliki sedikit keunggulan biaya dibanding negara-negara lain yang juga akan dikenakan tarif 15%-20% oleh pemerintahan Trump.
Survei NBS menunjukkan indeks pesanan ekspor baru tetap berada dalam zona kontraksi selama 15 bulan berturut-turut, turun ke 47,1 dari 47,7 pada Juni. Total pesanan baru juga mengalami kontraksi, menunjukkan lemahnya permintaan dalam negeri.
Menurut juru bicara NBS, Zhao Qinghe, penurunan PMI pada Juli juga dipengaruhi musim sepi produksi, suhu tinggi, serta hujan lebat dan banjir di beberapa wilayah.
Survei juga mencatat pertumbuhan produksi melambat dan kondisi ketenagakerjaan tetap lemah karena produsen berupaya menekan biaya. Harga bahan baku naik, dan harga output meningkat ke 48,3 dari 46,2, sejalan dengan upaya pemerintah menekan perang harga di antara produsen.
Pada kuartal II tahun ini, ekonomi China tumbuh 5,2%, melampaui ekspektasi. Ini berkat dukungan kebijakan pemerintah dan keputusan Trump menunda kenaikan tarif besar-besaran guna melanjutkan negosiasi. IMF pun menaikkan proyeksi pertumbuhan tahunan China menjadi 4,8%, dari sebelumnya 4,0%.
Dalam pertemuan tingkat tinggi yang berlangsung Rabu (30/7), para pemimpin negara menegaskan pentingnya mengelola persaingan tidak sehat antarperusahaan dan menekan deflasi industri akibat pemotongan harga besar-besaran.
"(Kita) harus membantu perusahaan perdagangan luar negeri yang terdampak dan memperkuat dukungan pembiayaan," demikian laporan Xinhua, mengutip hasil pertemuan.
Baca Juga: Laba Kurang Menawan, Saham BRI (BBRI) Melemah 1,06% di Sesi Pertama Hari Ini (31/7)
Para analis menekankan pentingnya pergeseran ekonomi China dari yang bertumpu pada ekspor dan investasi negara menjadi yang didorong oleh konsumsi domestik. Pengumuman subsidi pengasuhan anak minggu ini disebut sebagai langkah awal yang positif ke arah tersebut. Pemerintah akan memberikan subsidi tahunan sebesar 3.600 yuan (sekitar Rp 8 juta) per anak hingga usia tiga tahun, sebagai bagian dari upaya mengatasi penurunan angka kelahiran.
Namun demikian, PMI non-manufaktur yang mencakup sektor jasa dan konstruksi juga turun ke 50,1 dari 50,5 di Juni posisi terendah sejak November. Bahkan di tengah musim liburan musim panas, PMI jasa menurun menjadi 50,0 dari 50,1 di bulan sebelumnya.