kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • EMAS 1.884.000   0   0,00%
  • USD/IDR 16.210   -25,00   -0,15%
  • IDX 6.897   65,26   0,96%
  • KOMPAS100 1.002   13,05   1,32%
  • LQ45 771   10,32   1,36%
  • ISSI 224   1,60   0,72%
  • IDX30 397   5,48   1,40%
  • IDXHIDIV20 461   5,31   1,16%
  • IDX80 113   1,46   1,31%
  • IDXV30 113   0,44   0,39%
  • IDXQ30 129   1,86   1,47%

Aliran dana panas ke negara berkembang melambat


Senin, 01 November 2010 / 06:02 WIB
Aliran dana panas ke negara berkembang melambat
ILUSTRASI. timah


Reporter: Hari Widowati | Editor: Test Test

SINGAPURA. Akhir pekan lalu, aliran dana panas ke negara-negara berkembang (emerging markets) melambat. Investor menunggu kepastian hasil pemilu kongres Amerika Serikat (AS) dan pertemuan Federal Open Market Comittee (FOMC) yang bakal berlangsung pekan ini.

Menurut EPFR Global, pekan lalu dana yang mengalir ke bursa saham negara-negara berkembang mencapai US$ 2,68 miliar. Adapun dana yang masuk ke pasar obligasi mencapai US$ 710. Angka ini hanya separuh dari total dana yang masuk ke pasar finansial negara-negara berkembang sepekan sebelumnya yang mencapai US$ 7 miliar.

Sebagian investor memilih mencairkan dahulu investasinya sembari menunggu kepastian. Buktinya, akhir pekan lalu jumlah dana tunai yang ditarik dari reksadana pasar uang mencapai US$ 20,2 miliar. "Ini adalah pencairan terbesar dalam 14 pekan terakhir," tulis EPFR Global dalam laporannya, Sabtu (30/10) waktu Boston.

Sepanjang tahun ini, dana panas yang masuk ke bursa saham negara-negara berkembang melampaui US$ 60 miliar. Sedangkan dana yang masuk ke pasar obligasi lebih dari US$ 46 miliar. EPFR menyebutkan, jumlah dana asing ini merupakan rekor tertinggi sejak 1995.

"Investor berinvestasi dalam jumlah lebih besar ke aset-aset yang mampu memberikan imbal hasil lebih tinggi karena di negara-negara maju mempertahankan rezim suku bunga rendah," tulis EPFR.

Pada 2 November mendatang, AS akan melaksanakan pemilihan umum untuk anggota Kongres. Hasil pemilu ini akan menunjukkan, apakah Partai Demokrat masih bakal menguasai Kongres AS atau sebaliknya, Partai Republik yang memegang peranan. Jika Demokrat masih menguasai Kongres, berarti kebijakan-kebijakan pemerintahan Barrack Obama bakal berlanjut.

Namun, pemerintahan Obama harus menghadapi tantangan berat jika Partai Republik yang menguasai parlemen. Kebijakan ekonomi Obama memang tengah disorot. Warga negara AS prihatin dengan kondisi ekonomi yang dibayangi angka pengangguran tertinggi sejak tahun 1983, di level 9,6%. Ekonomi AS hingga kuartal III - 2010 pun tercatat hanya tumbuh 2% (year on year).

Suntikan likuiditas

Itu sebabnya, pertemuan FOMC pada 3-4 November mendatang diperkirakan akan mengumumkan rencana The Fed menyuntikkan stimulus terhadap perekonomian Negeri Paman Sam. The Fed akan melonggarkan kebijakan moneter (quantitave easing) dan menambah pembelian aset berupa surat berharga senilai US$ 500 miliar hingga US$ 1 triliun.

Sayangnya, kecil kemungkinan dana segar yang digelontorkan bank sentral AS itu dimanfaatkan untuk ekspansi ekonomi. Pasalnya, perusahaan-perusahaan di AS lebih suka menumpuk dana tunai di instrumen keuangan yang likuid. Bahkan, survei Moody's menunjukkan, sekitar 25% dari dana tunai milik korporasi AS yang hampir mencapai US$ 1 triliun, ditempatkan di luar negeri. Terutama, di pasar keuangan negara-negara berkembang.

Asian Development Bank (ADB) memberikan peringatan kepada negara-negara anggota ASEAN mengenai potensi aliran dana panas tersebut. "Kita harus siap. Otoritas moneter harus memantau tingkat suku bunga dan harga aset untuk membatasi spekulasi," kata Haruhiko Kuroda, Presiden ADB, Sabtu (30/10). Menurutnya, aliran dana panas tersebut bisa membuat pengelolaan ekonomi makro di negara-negara berkembang menjadi lebih kompleks.




TERBARU
Kontan Academy
Owe-some! Mitigasi Risiko SP2DK dan Pemeriksaan Pajak

[X]
×