Sumber: Reuters | Editor: Barratut Taqiyyah Rafie
Masa depan suram
Ketakutan akan masa depan khususnya menandai anak-anak Gaza yang kehilangan orang tua. Karena terpaksa tumbuh besar karena perang, mereka kini harus menanggung beban kerja ekstra dalam kehidupan baru mereka yang sulit di reruntuhan.
"Ayahku sudah tiada. Dia dulu selalu membantu ibuku. Dia dulu membantunya memasak dan membantu kami belajar. Sekarang dia sudah tiada, Tuhan memberkati jiwanya, dan pada usia ini aku harus memikul lebih banyak tanggung jawab untuk membantu adik-adikku," kata Raghad Abu Nadi, 14 tahun.
Dia berjalan di antara tenda bersama adik laki-lakinya, Osama, 9 tahun, yang memimpikan kematian ayah mereka.
“Saya sangat mencintainya,” kata Osama.
Namun tetap saja bom terus berjatuhan. Pada Selasa malam, serangan udara di distrik Tal al-Sultan di Rafah menewaskan beberapa orang termasuk anak-anak, kata korban yang selamat.
Baca Juga: Israel Akan Menghadapi Tuduhan Genosida Gaza di Pengadilan Dunia
Tujuan perang yang dinyatakan Israel adalah menghancurkan Hamas, yang para pejuangnya mengamuk melintasi perbatasan dalam serangan mendadak pada 7 Oktober, menewaskan lebih dari 1.200 orang, sebagian besar warga sipil dan menyandera 240 orang.
Militer Israel mengatakan mereka melakukan apa yang mereka bisa untuk membatasi kerugian terhadap warga sipil dan menuduh Hamas berusaha meningkatkan jumlah korban tewas dengan berlindung di antara orang-orang biasa, sesuatu yang dibantah oleh kelompok militan tersebut.
Israel mengatakan perang akan berlangsung berbulan-bulan lebih lama.
Ahmed Jarbou, yang duduk bersama ibunya, mengingat dengan jelas saat dia kehilangan ayahnya. Keluarga tersebut mencari perlindungan di rumah pamannya di lantai empat sebuah gedung berlantai lima ketika sebuah rudal Israel menghantam bagian bawah.
"Sepupu saya menjadi martir. Dia terbang keluar dari jendela lantai empat dan jatuh ke tanah. Kaki saudara laki-laki saya diamputasi... dan ayah saya jatuh berlutut ke lantai dan dia menjadi martir," kata Jarbou, 12 tahun.