Reporter: Hasbi Maulana | Editor: Hasbi Maulana
Sejak 2013, bitcoin telah mengalami pertumbuhan yang luar biasa di China. Negeri ini menguasai 95% volume perdagangan dan lebih dari 50% daya komputasi penambangan bitcoin.
Dalam rangka mengimbangi bangkitnya pasar China, banyak mata uang virtual baru kemudian mengubah algoritme mereka. Lei menuding para pengembang inti Bitcoin sendiri terus melakukan perbaikan teknologi untuk melemahkan pengaruh China.
Gejala ini menyebabkan banyak kontroversi bifurkasi (pemecahan) di industri ini. Banyak orang berpikir bahwa bifurkasi mata uang digital ini didikte oleh gagasan desentralisasi mereka sendiri. Argumen ini dipandang naif oleh Lei.
Awal tahun ini, bank sentral China ditempatkan di beberapa platform perdagangan bitcoin dalam negeri.
Regulator mulai membentuk sedikit program peraturan transaksi Bitcoin, dan secara bertahap mengatur pertukaran dan melakukan pembatasan untuk memperbaiki manajemen yang tepat bagi investor. Perdagangan bitcoin akan tetap dipertahankan.
Tapi baru berada di tahap ini, April lalu, tiba-tiba muncul serangan virus ransomware terhadap bitcoin. Inilah yang paling ditakuti pemerintah China.
Menarik untuk dicatat bahwa setelah langkah Ransomware untuk menghentikan legalisasi Pertukaran Bitcoin oleh pemerintah China, tak seberapa lama kemudian Jepang memperkenalkan sebuah undang-undang yang mengakui Bitcoin sebagai instrumen pembayaran yang sah.
Pada tanggal 15 September 2017, China secara resmi menuntut penutupan bursa. Pada saat yang sama, Kementerian Keuangan Jepang dan Otoritas Jasa Keuangan (FSA) secara resmi mengeluarkan lisensi pertukaran bitcoin pertama.
Persaingan antarnegara di ranah bitcoin telah secara resmi memasuki tahap konfrontasi dengan publik. Mengenai isu bitcoin, Jepang dan Amerika Serikat semua memiliki gerak tubuh sendiri.