Reporter: Barratut Taqiyyah Rafie | Editor: Barratut Taqiyyah Rafie
KONTAN.CO.ID - TOKYO. Presiden AS Donald Trump dengan keras kepala menimpakan kesalahan atas penguatan dollar kepada The Federal Reserve yang terbilang lamban untuk memangkas suku bunga acuannya. Kita tentu ingat bagaimana Trump menyerang kebijakan The Fed karena kebijakannya menggerus tingkat persaingan perusahaan AS dengan negara lain.
Namun Eric Rosengren, Kepala The Fed Boston, yang memilih agar suku bunga The Fed tidak berubah pada pertemuan terakhir, mengatakan, dirinya tidak yakin bahwa melambatnya perdagangan dan pertumbuhan ekonomi global akan secara signifikan merusak perekonomian AS.
Baca Juga: Duh, Kurs Rupiah Malah Rawan Terkoreksi Jika BI Memangkas Suku Bunga premium
Jika ditelaah lebih jauh, tingkat yield riil menunjukkan adanya kecemasan terkait perang dagang Trump sehingga menyebabkan the greenback terus menguat.
Sebagai bukti, mari kita lihat data yang dihimpun Bloomberg. Mata uang dollar sudah menguat terhadap tujuh dari sepuluh mata uang utama dunia tahun ini, kendati yield US Treasury yang sudah disesuaikan dengan inflasi terus melorot sejak November jika dibandingkan dengan pasar surat utang negara besar lainnya.
Imbal hasil riil US Treasury bertenor 10 tahun juga telah melorot lebih dari 1% dari posisi tertinggi November ke level 0,03%. Ini dipicu oleh pemangkasan suku bunga acuan The Fed di tengah ekspektasi inflasi yang rendah. Pasar uang sepenuhnya sudah memperhitungkan dilakukannya pemotongan suku bunga Fed lebih lanjut pada akhir 2020 sebesar 1%.
Baca Juga: Lewat kicauan di Twitter, Trump minta The Fed pangkas suku bunga 1%
Di sisi lain, indeks dollar AS reli ke level tertinggi dalam dua tahun terakhir pada Agustus karena investor mencari tempat perlindungan di tengah meningkatnya kecemasan perang dagang yang dapat menggelincirkan ekonomi global ke dalam jurang resesi.
"Merupakan hal yang wajar jika dollar menguat. Trump mengobarkan perang dagang terhadap negara yang mencatatkan surplus perdagangan dengan AS dan membuat perekonomian ekonomi AS yang sudah kuat menjadi lebih kuat lagi," papar Daisaku Ueno, chief currency strategist Mitsubishi UFJ Morgan Stanley Securities Co di Tokyo.
Investor bisa memperoleh lebih banyak wawasan tentang prospek suku bunga AS dan dampak dari perang dagang saat para pembuat kebijakan berkumpul di simposium Jackson Hole dan pertemuan negara-negara Group of 7 (G7) pada pekan depan.
Baca Juga: Proyeksi Rupiah: Trump Melunak, Nilai Tukar Rupiah Bisa Menguat
Menurut stasiun TV NHK Jepang, pertemuan G-7 yang dimulai 24 Agustus, dapat berakhir tanpa komunike bersama karena adanya perbedaan pandangan soal perdagangan bebas dan perubahan iklim. Jika hal tersebut terjadi, ini akan menjadi pertemuan pertama tanpa pernyataan bersama sejak pertemuan G7 ini dimulai pada 1975 silam.