Sumber: Reuters | Editor: Barratut Taqiyyah Rafie
Invasi Rusia ke Ukraina pada tahun 2022 menandai perpecahan terburuk dalam hubungan dengan negara-negara Barat selama 60 tahun terakhir. Dan krisis ini meningkat menjadi fase yang menurut para diplomat merupakan fase paling berbahaya hingga saat ini.
Invasi tersebut telah menyebabkan kematian puluhan ribu warga sipil Ukraina, mendorong jutaan orang mengungsi ke luar negeri, dan menghancurkan lingkungan dan seluruh kota.
Rusia, yang menguasai 18% wilayah Ukraina, semakin maju dan membuka front baru di wilayah Kharkiv. Kondisi ini memicu perdebatan di Barat tentang apa lagi yang dapat mereka lakukan setelah memberikan bantuan, senjata, dan intelijen senilai ratusan miliar dolar kepada Kyiv.
Para pemimpin Barat dan Ukraina meremehkan peringatan Rusia mengenai risiko perang yang lebih luas yang melibatkan Rusia, negara dengan kekuatan nuklir terbesar di dunia, dan NATO, aliansi militer paling kuat di dunia yang dipimpin oleh Amerika Serikat.
Ukraina mengatakan mereka harus mampu melakukan serangan di belakang garis Rusia, termasuk terhadap wilayah kedaulatan Rusia, untuk melawan.
Baca Juga: Alasan Penghianatan, Pakar Hipersonik Rusia Berusia 77 Tahun Ini Dibui 14 Tahun
Namun para pejabat Rusia mengatakan kesabaran Moskow semakin menipis setelah berulang kali serangan Ukraina terhadap kota-kota Rusia, kilang minyak, dan, dalam beberapa hari terakhir, bahkan terhadap elemen-elemen sistem peringatan dini nuklirnya.
Ketika ditanya oleh televisi pemerintah Rusia tentang legitimasi Presiden Ukraina Volodymyr Zelenskiy, Putin mengatakan satu-satunya otoritas sah di Ukraina saat ini adalah parlemen, dan ketuanya harus diberikan kekuasaan.
Zelenskiy belum menggelar pemilu meskipun masa jabatannya telah berakhir karena darurat militer yang diberlakukan setelah invasi.