Sumber: Visual Capitalist | Editor: Barratut Taqiyyah Rafie
KONTAN.CO.ID - Inflasi masih menjadi salah satu persoalan ekonomi paling mendesak di dunia. Laporan bulanan G20 Inflation Tracker terbaru untuk Agustus 2025 menyoroti betapa lebarnya kesenjangan pertumbuhan harga di antara negara-negara ekonomi terbesar dunia.
Mengutip Visual Capitalist, data dari kantor statistik nasional masing-masing anggota G20 yang divisualisasikan oleh Aneesh Anand menunjukkan perbedaan mencolok: sebagian negara masih menghadapi lonjakan harga konsumen, sementara sebagian lain justru berjuang melawan deflasi.
Negara dengan Inflasi Tertinggi dan Terendah di G20 (Agustus 2025)
- Argentina: 33,6%
- Turki (Türkiye): 33,0%
- Rusia: 8,1%
- Brasil: 5,1%
- Inggris: 3,8%
- Meksiko: 3,6%
- Afrika Selatan: 3,3%
- Australia: 3,0%
- Amerika Serikat: 2,9%
- Jepang: 2,7%
- India: 2,1%
- Zona Euro: 2,0%
- Kanada: 1,9%
- Korea Selatan: 1,7%
- Indonesia: 2,3%
- Arab Saudi: 2,3%
- China: -0,4%
Baca Juga: Sentil Delapan Provinsi dengan Inflasi Tinggi
Sekilas terlihat bahwa Argentina (33,6%) dan Turki (33%) masih menjadi dua negara dengan inflasi tertinggi di dunia, sedangkan China menjadi satu-satunya anggota G20 yang mengalami deflasi.
Argentina: Inflasi Masih Tinggi, Tapi Mulai Melambat
Meski masih memimpin daftar inflasi G20, tren harga di Argentina menunjukkan tanda-tanda mulai mereda. Inflasi bulanan pada Agustus tercatat hanya naik 1,9%, angka terendah sejak 2022.
Namun, bertahun-tahun salah kelola ekonomi, kontrol mata uang, dan pelemahan peso telah meninggalkan dampak mendalam. Dukungan keuangan terbaru dari AS bisa membantu menstabilkan ekonomi Argentina untuk sementara, tetapi tanpa reformasi struktural, tekanan inflasi bisa kembali.
Baca Juga: Powell Tantang Inflasi: The Fed Siap Pangkas Bunga Lagi
Turki: Suku Bunga Rendah dan Lira Lemah Bikin Harga Melonjak
Turki masih mencatat inflasi tinggi di 33%, terutama akibat lonjakan harga pangan, energi, dan perumahan.
Kebijakan bank sentral yang memangkas suku bunga di tengah inflasi tinggi menuai kritik luas karena dinilai kontraproduktif.
Harga konsumen pada Agustus naik lebih dari perkiraan, menguji kredibilitas kebijakan moneter negara itu.
Pelemahan tajam nilai tukar lira juga memperparah inflasi karena biaya impor meningkat. Tanpa perubahan kebijakan yang tegas, tekanan harga kemungkinan akan berlanjut.
China: Deflasi Tanda Masalah Ekonomi yang Lebih Dalam
Berbeda dengan sebagian besar negara yang masih bergulat dengan inflasi, China justru menghadapi deflasi sebesar -0,4% (yoy) pada Agustus. Penurunan harga ini mencerminkan melemahnya permintaan domestik.
Fenomena ini terkait masalah struktural yang lebih luas: populasi usia kerja menyusut, angka kelahiran menurun, dan masyarakat menua dengan cepat. Semua itu berpotensi menekan produktivitas dan konsumsi jangka panjang.
Selain itu, sektor properti yang dulunya menyumbang hingga 30% dari PDB China kini tengah melambat tajam, dengan harga rumah jatuh dan banyak pengembang gagal bayar, yang semakin melemahkan kepercayaan pasar dan rumah tangga.
Deflasi ini bisa jadi cerminan dari tantangan transisi ekonomi China — dari model pertumbuhan berbasis investasi menuju ekonomi berbasis konsumsi. Tanpa stimulus permintaan domestik atau perubahan kebijakan besar, tekanan deflasi dikhawatirkan akan berlarut, mengancam pertumbuhan jangka panjang dan perdagangan global.
Tonton: Rahasia Warren Buffett Hadapi Inflasi: Bukan Emas, tapi Investasi Ini
Lanskap Global: Inflasi Tidak Merata
Inflasi di Amerika Serikat naik ke 2,9%, tertinggi sejak Januari 2025.
Sementara Jepang (2,7%) dan Zona Euro (2,0%) mendekati target bank sentral mereka.
Kanada (1,9%) dan Korea Selatan (1,7%) menjadi negara dengan inflasi terendah di antara anggota G20.
Indonesia dan Arab Saudi mencatat inflasi moderat di kisaran 2,3%, relatif stabil dibanding negara lain.