kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • EMAS 2.428.000   -57.000   -2,29%
  • USD/IDR 16.602   11,00   0,07%
  • IDX 7.916   -209,10   -2,57%
  • KOMPAS100 1.090   -29,49   -2,63%
  • LQ45 772   -7,67   -0,98%
  • ISSI 281   -10,34   -3,54%
  • IDX30 401   -4,69   -1,16%
  • IDXHIDIV20 453   -1,70   -0,37%
  • IDX80 121   -1,88   -1,53%
  • IDXV30 129   -2,46   -1,87%
  • IDXQ30 127   -0,85   -0,66%

AS Desak IMF dan Bank Dunia Bersikap Lebih Keras terhadap Praktik Ekonomi China


Sabtu, 18 Oktober 2025 / 16:59 WIB
AS Desak IMF dan Bank Dunia Bersikap Lebih Keras terhadap Praktik Ekonomi China
Menteri Keuangan AS Scott Bessent berbicara kepada wartawan di Gedung Capitol AS. Tekanan baru AS terhadap lembaga keuangan global untuk memperketat pengawasan terhadap China, seiring meningkatnya rivalitas ekonomi kedua negara.


Sumber: Reuters | Editor: Noverius Laoli

KONTAN.CO.ID - WASHINGTON. Menteri Keuangan Amerika Serikat (AS) Scott Bessent mendesak Dana Moneter Internasional (IMF) dan Bank Dunia untuk mengambil sikap yang lebih tegas terhadap praktik ekonomi China yang dinilai terlalu digerakkan oleh negara.

Seruan ini menjadi bagian dari upaya Washington untuk mendorong kedua lembaga keuangan global itu kembali pada mandat inti mereka.

Dalam pernyataannya kepada Komite Pengarah IMF, Bessent meminta agar lembaga keuangan tersebut memperkuat fungsi pengawasan terhadap negara-negara anggota dengan objektif dan seimbang.

Ia juga menilai sudah saatnya Bank Dunia menghentikan dukungan pembiayaan untuk China dan mengalihkan sumber daya ke negara-negara dengan kebutuhan pembangunan yang lebih mendesak.

Baca Juga: Setelah IMF, Bank Dunia Juga Pangkas Pertumbuhan Ekonomi Indonesia 2025 Jadi 4,7%

“IMF tidak boleh ragu untuk mengajukan pertanyaan sulit, mengidentifikasi ketidakseimbangan ekonomi, serta menyoroti dampak kebijakan industri di negara besar seperti China terhadap stabilitas global,” ujar Bessent dalam pernyataannya.

Bessent menilai praktik ekonomi China, termasuk model pertumbuhan berbasis ekspor dan dukungan besar pemerintah terhadap sektor industri, telah menciptakan kelebihan kapasitas manufaktur yang membanjiri pasar dunia dengan produk murah.

Washington menilai hal ini memperburuk ketidakseimbangan perdagangan global. Sementara Beijing bersikukuh bahwa keunggulannya di sektor seperti kendaraan listrik didorong oleh inovasi, bukan subsidi negara.

Ketegangan antara AS dan China saat ini juga meningkat akibat kebijakan ekspor mineral langka dari China, tarif impor era Trump yang belum dicabut, serta ancaman tarif baru AS hingga 100% terhadap produk China mulai 1 November mendatang.

Baca Juga: Bank Dunia Optimistis Ekonomi China & RI Tumbuh 4,8%, Tapi Momentum Bisa Melemah 2026

Bessent, yang mengelola porsi saham AS terbesar di IMF dan Bank Dunia, pertama kali menyerukan peningkatan pengawasan terhadap China pada April lalu.

Namun dalam pernyataan terbarunya, ia menegaskan agar IMF memasukkan pemantauan terhadap ketidakseimbangan global, termasuk yang disebabkan oleh China, dalam tinjauan kebijakan pengawasan berikutnya.

Direktur Pelaksana IMF Kristalina Georgieva mengatakan pihaknya sudah berupaya memperdalam analisis terhadap ketidakseimbangan global dan meninjau kembali ketentuan program pinjaman.

“Kami sedang menggali lebih dalam dan membawa daftar pekerjaan rumah yang panjang,” ujarnya.

Bessent juga menyindir China terkait keterlambatan dalam restrukturisasi utang negara-negara berkembang seperti Chad, Zambia, dan Sri Lanka.

Ia menilai sikap sejumlah kreditur besar yang enggan menanggung kerugian justru memperburuk tekanan likuiditas negara debitur.

Baca Juga: Bank Dunia Beri Pinjaman Investasi Rp 34,65 Triliun ke Indonesia, Ini Peruntukannya

“Program IMF tidak akan efektif jika ada negara kreditur yang justru memperparah tekanan likuiditas yang hendak diatasi program tersebut,” tegasnya.

“Dana IMF bukan celengan untuk menutupi kerugian negara kreditur yang membuat keputusan investasi keliru.”

Meski demikian, pejabat IMF menegaskan bahwa AS dan China masih bekerja sama dalam forum Global Sovereign Debt Roundtable guna mencari solusi atas krisis utang negara berkembang.

Georgieva menambahkan bahwa IMF akan menggunakan pengaruhnya untuk memperkuat koordinasi antara negara kreditur dan debitur.

Selain IMF, Bessent juga menyoroti kebijakan Bank Dunia. Ia mendesak agar lembaga tersebut memperkuat mekanisme “kelulusan” (graduation policy) agar negara penerima bantuan bisa mandiri, termasuk menghentikan dukungan finansial bagi China.

Baca Juga: Bank Dunia Beri Pinjaman Investasi Rp 34,65 Triliun ke RI untuk Biayai 2 Proyek Besar

Ia juga meminta Bank Dunia menindak praktik pengadaan proyek yang tidak kompetitif oleh perusahaan milik negara (BUMN) dan menolak kontraktor yang tidak beroperasi secara komersial.

Dalam hal energi, Bessent menentang target Bank Dunia yang menetapkan 45% pembiayaannya untuk proyek terkait iklim.

Ia mendorong pendekatan yang lebih terbuka terhadap pendanaan energi fosil seperti gas, minyak, dan batu bara, sejalan dengan kebijakan pemerintahan Trump yang menolak subsidi energi hijau.

Selain itu, Bessent meminta Bank Dunia memperkuat pendanaan di sektor mineral penting untuk mengurangi dominasi China dalam rantai pasok global.

Baca Juga: IMF dan Bank Dunia Ramal Ekonomi RI 4,7% 2025, Kemenko: Lebih Baik dari AS dan China

“Kami mendukung langkah Bank Dunia untuk menyusun strategi mineral penting dan berharap upaya ini memperkuat investasi serta rantai pasok yang lebih beragam dan tangguh,” ujarnya.

Selanjutnya: BI Catat Aliran Modal Asing Hengkang Rp 16,61 Triliun Periode 13-16 Oktober 2025

Menarik Dibaca: Oppo Find X9 Pro Mengusung RAM 12 GB & Baterai Raksasa 7550 mAh! Intip Ulasannya


Video Terkait



TERBARU

[X]
×