Sumber: The Straits Times | Editor: Barratut Taqiyyah Rafie
KONTAN.CO.ID - HONG KONG. Presiden China Xi Jinping mungkin tidak lagi disebut sebagai Presiden Xi di Washington. Ini sangat mungkin terjadi jika anggota parlemen AS berhasil mengesahkan undang-undang mengenai hal tersebut. Langkah ini dipastikan akan membuat Beijing marah besar.
Melansir The Straits Times, Undang-Undang Nama Musuh akan membutuhkan dokumen dan komunikasi resmi pemerintah AS untuk merujuk pada pemimpin tertinggi Tiongkok sesuai dengan perannya sebagai ketua Partai Komunis Tiongkok (PKT). Jadi bagi Xi, gelar itu adalah sekretaris jenderal PKT.
RUU tersebut, yang diperkenalkan oleh Perwakilan Republik Scott Perry dari Pennsylvania pada 7 Agustus, melarang "penggunaan dana federal untuk menyebut kepala negara Republik Rakyat China sebagai 'presiden' dalam dokumen dan komunikasi Pemerintah Amerika Serikat, dan untuk tujuan lainnya".
Baca Juga: Presiden Xi: Saling mendukung adalah cara pasti untuk kalahkan pandemi corona
Kritikus mengatakan, istilah presiden "menawarkan legitimasi yang tidak beralasan kepada pemimpin yang tidak dipilih", menurut sebuah laporan di South China Morning Post pada hari Jumat (21 Agustus).
Namun, lanjut SCMP, RUU tersebut menargetkan China, tetapi tidak menargetkan para pemimpin di banyak negara lain yang tidak terpilih atau berkuasa akibat pemilihan yang tidak dianggap bebas dan adil.
Baca Juga: Banjir besar melanda, ini pesan Xi Jinping kepada militer China
Meskipun RUU tersebut belum disahkan, para pengamat mencatat bahwa beberapa pejabat AS, termasuk Menteri Luar Negeri Mike Pompeo, mulai menyebut Xi sebagai sekretaris jenderal, bukan sebagai presiden.
Xi saat ini adalah sekretaris jenderal PKC, ketua Komisi Militer Pusat PKT, Presiden Republik Rakyat Tiongkok (RRT), dan ketua Komisi Militer Pusat RRT.
Presiden AS Donald Trump sejauh ini tampaknya belum menyebut Xi sebagai sekretaris jenderal.
Namun, Trump telah menjadikan posisi sulitnya di China sebagai elemen kunci menjelang pemilihan presiden 3 November, dan berniat untuk terus menekan Beijing.
Baca Juga: Kampanye Piring Bersih ala China, apa itu?
Di luar penanganan China terhadap pandemi Covid-19 dan cengkeraman Beijing yang semakin ketat atas Hong Kong, hubungan antara dua ekonomi terbesar dunia itu memiliki serangkaian titik nyala termasuk teknologi 5G, hingga pertahanan dan perdagangan.
"Ketidakjujuran China yang terang-terangan terhadap komunitas internasional merenggut nyawa, dan PKC serta (Organisasi Kesehatan Dunia) harus bertanggung jawab atas kegagalan mereka," demikian diberitakan SCMP yang mengutip Perry.