Reporter: Wahyu Satriani , Ruisa Khoiriyah, Amailia Putri Hasniawati, | Editor: Edy Can
JAKARTA. Setelah menggunting peringkat utang Amerika Serikat (AS), Standard and Poor\'s kini mengarahkan perhatiannya ke Asia. Lembaga pemeringkat internasional itu memprediksi kawasan Asia bisa terhantam krisis keuangan yang jauh lebih hebat dibandingkan krisis 2008.
"Krisis finansial terancam terjadi khususnya di negara-negara yang memiliki eksposur besar dengan pasar asing (offshore market) atau negara yang masih membenahi anggaran dari efek krisis terakhir lalu," tulis S&P, seperti dikutip Reuters, Senin (8/8).
S&P menilai sejumlah negara di Asia memiliki ketergantungan tinggi terhadap ekonomi AS dan Eropa. Di saat dua kawasan tersebut terguncang, tentu negara-negara Asia yang punya eksposur tinggi ikut menanggung imbasnya.
Dalam prediksi S&P, efek yang dirasakan negara Asia di tahun ini lebih berat dan lebih lama dibandingkan krisis yang terjadi tiga tahun silam.
Indonesia, menurut S&P merupakan salah satu negara yang rentan terhadap gangguan pasar global. Negara Asia Pasifik yang juga terancam adalah Pakistan, Sri Lanka, Fiji, Australia, Selandia Baru, dan Korea Selatan.
Sulit bagi Indonesia mengabaikan peringatan S&P ini. "Sumber kelemahan terbesar Indonesia dari sisi eksternal adalah arus modal asing," kata M. Doddy Ariefianto, ekonom Universitas Ma Chung.
Sampai kemarin, investor masih melanjutkan aksi jual di pasar keuangan domestik. Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) tergerus hebat, hampir 5%, di sesi pertama perdagangan. Memang, akhirnya indeks berhasil bangkit ke posisi 3.850,26, atau hanya turun 1,82%.
Investor asing juga mulai melepas Surat Utang Negara (SUN) dari portofolionya. Indeks SUN kemarin turun tipis 0,37% menjadi 104,66. Empat hari terakhir, dana asing jangka pendek (hot money) yang keluar dari pasar Indonesia mencapai US$ 407,51 juta atau sekitar Rp 3,5 triliun.
Lana Soelistianingsih, Ekonom Samuel Securities, berpendapat, sangat mungkin pasar Asia jeblok karena penarikan dana. "Asia ketumpahan dana investor asing yang menarik asetnya dari Eropa dan AS setelah krisis 2008," kata dia. Namun, ia optimistis kalaupun reversal terjadi, tidak akan parah.
Kecenderungan investor saat ini adalah memegang uang tunai, emas, atau swiss franc. Investor biasanya bertahan memegang cash selama satu kuartal, setelah itu mereka akan masuk ke pasar portofolio lagi. Willing Bolung, Kepala Tresuri ANZ Panin, berpendapat senada. "Cash is the king, saat ini," ujar dia.
Ia mengaku tak sepakat dengan warning S&P. Asia, termasuk Indonesia, menurut Willing, memiliki fundamental yang lebih baik dibandingkan 2008. "Kita sudah banyak berbenah, S&P cuma memperingatkan," ujar dia.
Perry Warjiyo, Direktur Riset Ekonomi dan Moneter Bank Indonesia (BI) juga menganggap koreksi yang menimpa IHSG dan pasar SUN bersifat temporer. "Investor jangka menengah dan panjang, akan tetap tinggal di sini. Jadi capital outflow saat ini akan mereda dalam beberapa hari ke depan," tandas dia. BI, ujar Perry, sudah mengawasi rupiah di pasar sejak Jumat lalu.
Setiawan Effendy, Analis Phintraco Securities ikut melontarkan prediksi optimistis. "Pekan depan IHSG mulai konsolidasi, dan akhir bulan bisa rebound," tutur dia. Akhir tahun, ia prediksi IHSG menanjak ke level 4.450-4.500.