Sumber: Reuters | Editor: Avanty Nurdiana
KONTAN.CO.ID - LONDON. Kesenjangan antara biaya pembayaran utang negara-negara berkembang dan pendanaan baru mencapai level tertinggi dalam lebih dari 50 tahun, dengan total selisih sebesar US$ 741 miliar pada periode 2022–2024.
Temuan ini disampaikan Bank Dunia dalam laporan tahunan International Debt Report yang dirilis pada Rabu, disertai seruan agar negara-negara memanfaatkan kondisi pembiayaan global yang mulai longgar untuk memperbaiki stabilitas fiskal.
Dalam laporan tersebut, Bank Dunia mengungkap total pembayaran bunga utang kembali mencetak rekor baru, mencapai US$ 415,4 miliar pada 2024,meski terdapat sedikit kelonggaran akibat penurunan suku bunga global.
Baca Juga: Harga Komoditas Bakal Turun, Bank Dunia Minta Negara Berkembang Hapus Subsidi di 2026
“Kondisi keuangan global mungkin membaik, tetapi negara berkembang tidak boleh terlena: ancaman masih ada,” kata Kepala Ekonom Bank Dunia, Indermit Gill. Ia menambahkan akumulasi utang terus meningkat, kadang dalam bentuk baru yang lebih berbahaya.
Berakhirnya siklus kenaikan suku bunga global membuat pasar obligasi kembali terbuka bagi banyak negara, memungkinkan penerbitan utang bernilai miliaran dolar. Namun, langkah ini harus dibayar mahal suku bunga obligasi mendekati 10%, dua kali lipat lebih tinggi dibandingkan sebelum 2020, sementara pilihan pembiayaan murah semakin terbatas.
Negara-negara berkembang juga semakin bergantung pada pasar utang domestik. Di 50 negara, pertumbuhan utang domestik tahun lalu bahkan melampaui utang eksternal. Bank Dunia menilai tren ini sebagai tanda berkembangnya pasar kredit lokal, namun memperingatkan potensi risiko seperti berkurangnya kapasitas bank untuk menyalurkan kredit ke sektor swasta dan meningkatnya biaya refinancing karena tenor utang yang lebih pendek.
Pada 2024, negara-negara emerging market merestrukturisasi hampir US$ 90 miliar utang eksternal, level tertinggi dalam 14 tahun. Proses restrukturisasi terjadi di Ghana, Zambia, Sri Lanka, Ukraina, dan Ethiopia, sementara Haiti dan Somalia menerima penghapusan sebagian utangnya.
Baca Juga: IMF dan Bank Dunia Proyeksi Ekonomi Asia Tahun Depan Bakal Lebih Rendah
Di sisi lain, arus pembiayaan bilateral anjlok 76% menjadi hanya US$ 4,5 miliar, terendah sejak krisis keuangan global 2008. Kondisi ini memaksa negara-negara berkembang mencari pembiayaan dari sektor swasta yang lebih mahal.
Sementara itu, pembiayaan multilateral meningkat dengan Bank Dunia menyalurkan pinjaman rekor sebesar US$ 36 miliar. Namun, tekanan utang tetap berat 54% negara berpendapatan rendah kini berada dalam kondisi tertekan atau berisiko tinggi mengalami krisis utang.
“Pembuat kebijakan harus memanfaatkan jeda yang ada saat ini untuk menata kembali anggaran mereka, bukan buru-buru kembali ke pasar utang eksternal,” ujar Gill.
Laporan terbaru ini memperlihatkan tantangan besar yang dihadapi negara berkembang dalam menjaga stabilitas ekonomi di tengah ketidakpastian global, serta pentingnya strategi fiskal yang lebih hati-hati dalam beberapa tahun ke depan.













