Reporter: Dendi Siswanto | Editor: Anna Suci Perwitasari
KONTAN.CO.ID-JAKARTA. Bank Dunia memproyeksikan harga komoditas global akan turun ke level terendah dalam enam tahun pada 2026, seiring meluasnya surplus minyak dan lemahnya pertumbuhan ekonomi dunia.
Dalam laporan Commodity Markets Outlook terbarunya, Bank Dunia memperkirakan harga komoditas akan turun masing-masing 7% pada 2025 dan 2026.
Penurunan harga energi menjadi faktor utama meredanya tekanan inflasi global, sementara turunnya harga beras dan gandum ikut meningkatkan keterjangkauan pangan di beberapa negara berkembang.
Baca Juga: Penjualan Chip Samsung Cetak Rekor, Fokus Produksi HBM4 Tahun Depan
Meski demikian, harga komoditas secara umum masih lebih tinggi dibandingkan masa pra-pandemi, yakni 23% di atas level 2019 untuk tahun 2025 dan 14% di atasnya pada 2026.
Indermit Gill, Chief Economist dan Senior Vice President for Development Economics Bank Dunia mengatakan bahwa pasar komoditas membantu menstabilkan ekonomi global. Namun, masa tenang ini tidak akan berlangsung lama.
"Pemerintah harus memanfaatkannya untuk menata kembali keuangan negara, mempersiapkan ekonomi agar siap bersaing, dan mempercepat perdagangan dan investasi," ujar Indermit dalam keterangannya, Kamis (30/10/2025).
Laporan itu menyebutkan surplus minyak dunia pada 2025 meningkat tajam dan diperkirakan melonjak 65% pada 2026 dibandingkan puncak terakhir tahun 2020.
Permintaan minyak melambat akibat meningkatnya penggunaan kendaraan listrik dan hibrida serta stagnasi konsumsi di China.
Harga minyak Brent diperkirakan turun dari rata-rata US$ 68 per barel pada 2025 menjadi US$ 60 pada 2026, yang merupakan level terendah dalam lima tahun.
Secara keseluruhan, harga energi diperkirakan turun 12% tahun ini dan 10% tahun depan.
Harga pangan juga menunjukkan tren menurun, atau turun 6,1% pada 2025 dan 0,3% pada 2026. Harga kedelai turun karena produksi rekor dan ketegangan dagang, sementara harga kopi dan kakao diprediksi jatuh tahun depan seiring membaiknya pasokan.
Sebaliknya, harga pupuk melonjak 21% pada 2025 akibat biaya input dan pembatasan perdagangan, sebelum turun 5% pada 2026, kondisi yang dikhawatirkan menekan margin petani dan produktivitas pertanian.
Sementara itu, logam mulia seperti emas dan perak justru melesat ke rekor baru. Harga emas diperkirakan naik 42% pada 2025 dan 5% lagi pada 2026, hampir dua kali lipat rata-rata 2015–2019. Harga perak naik 34% tahun ini dan diproyeksi naik 8% tahun depan.
Baca Juga: Menjelang Pertemuan Trump–Xi, Taiwan Yakin Hubungan dengan AS Tetap Kuat
Bank Dunia mengingatkan, proyeksi harga bisa berubah jika pertumbuhan global terus melemah atau produksi minyak OPEC+ melebihi ekspektasi.
Sebaliknya, konflik geopolitik dapat mendorong harga minyak naik dan meningkatkan permintaan terhadap aset aman seperti emas.
Cuaca ekstrem akibat La Nina yang lebih kuat juga berpotensi mengganggu produksi pangan dan menaikkan permintaan listrik.
Ayhan Kose, Deputy Chief Economist dan Direktur Prospects Group Bank Dunia mengatakan bahwa harga minyak yang lebih rendah membuka peluang bagi negara berkembang untuk melakukan reformasi fiskal.
"Menghapus subsidi bahan bakar bisa mengalihkan dana ke infrastruktur dan modal manusia, menciptakan lapangan kerja, serta memperkuat produktivitas jangka panjang," katanya.
Menurutnya, reformasi fiskal tersebut akan membantu mengalihkan pengeluaran dari konsumsi dan investasi, memulihkan ruang fiskal sambil mendukung penciptaan lapangan kerja yang lebih berkelanjutan.













