Reporter: Laurensius Marshall Sautlan Sitanggang | Editor: Handoyo .
KONTAN.CO.ID - TOKYO. Bank-bank komersial asal Jepang tengah menjajal produk keuangan yang kompleks, namun hal ini berbuntut pada meningkatnya risiko kredit. Hal ini sedikit banyak disebabkan oleh upaya perburuan bank di Jepang untuk menggali potensi imbal hasil (yield).
Melihat fenomena ini, bank sentral Jepang memperingatkan para perbankan akan risiko akumulasi biaya suku bunga ultra-rendah yang berkepanjangan.
Perbankan di Jepang memang tengah diterpa margin yang menyempit dan populasi yang semakin menipis. Bank-bank regional telah meningkatkan pinjaman untuk investasi properti kepada perusahaan-perusahaan dengan tingkat profitabilitas rendah. Hal ini dijabarkan oleh Bank of Japan (BOJ) dalam sebuah laporan analisa sistem perbankan di Jepang.
Baca Juga: BOJ warns economy vulnerable to riskier lending practices of financial firms
Kendati perbaikan ekonomi sudah berangsur membaik, beberapa kredit bank mengalami peningkatan risiko lantaran kecilnya standar pinjaman dan meningkatnya jumlah perusahaan yang tertinggal dalam upaya penyelamatan seperti restrukturisasi.
"Biaya kredit tetap rendah, tapi baru-baru ini mulai naik. Terutama untuk lembaga keuangan regional," kata BOJ seperti dimuat Reuters, Kamis (24/10).
Menurut bank sental, hal ini disebabkan perbankan menghadapi tingkat pengembalian yang relatif rendah, alhasil rasio kecukupan modal atau capital adequacy ratio (CAR) perlahan mengalami penurunan secara moderat.
Baca Juga: Terancam bangkrut, SoftBank gelontorkan dana US$ 9,5 miliar ke WeWork
Jika kondisi ini terus berlanjut, bank-bank regional maka dapat kehilangan kapasitas untuk menyerap kerugian dari pinjaman yang macet. Apalagi jika terjadi goncangan yang besar di pasar keuangan.
Di sisi lain, bank-bank besar juga telah memperluas pinjaman luar negeri dan investasi dalam produk-produk keuangan yang kompleks. Langkah ini bisa membuat sistem perbankan Jepang lebih rentan terhadap risiko global.
Di sisi lain, jumlah kewajiban pinjaman yang dijaminkan (collateralized loan obligations/CLO), sebuah sekuritisasi pinjaman bank kepada perusahaan-perusahaan telah menggelembung dalam beberapa tahun terakhir sejalan dengan strategi investor untuk menggali tingkat pengembalian tinggi dengan membeli kredit pada perusahaan yang berisiko tinggi.
"CLO membentuk sekitar 20% dari investasi mereka (bank-bank Jepang) ke dalam produk-produk kredit luar negeri," kata BOJ.
Laporan sistem keuangan BOJ atau Financial System Report (FSR) ini nantinya bakal menjadi bahan pertimbangan sembilan anggota dewan bank sentral dalam memutuskan kebijakan moneter pada tinjauan suku bunga pada 30-31 Oktober 2019.
Baca Juga: UBS akan PHK karyawan di 30 jenis pekerjaan di Asia Pasifik
"FSR terbaru hampir tidak memiliki implikasi untuk kebijakan moneter, dalam pandangan kami," kata Analis Barclays Tetsufumi Yamakawa.
Namun, pihaknya meyakini kekhawatiran BOJ yang meningkat terkait rentannya sistem keuangan kemungkinan akan mengarah pada jangka panjang untuk melalukan revisi yield curve control (YCC). Di bawah YCC, BOJ memandu suku bunga jangka pendek di -0,1% dan imbal hasil obligasi 10 tahun sekitar 0%.
Kegagalan untuk meningkatkan inflasi ke target 2% telah memaksa BOJ untuk mempertahankan program stimulus besar-besaran untuk biaya lebih lama dari yang diharapkan. Hal ini menghancurkan margin lembaga keuangan dan menekan sistem perbankan Jepang.
Baca Juga: Japan banks to undergo stress test to prepare for any crisis
Gubernur BOJ Haruhiko Kuroda telah menekankan bank sentral akan dengan hati-hati mempertimbangkan manfaat dan biaya dari setiap pelonggaran kebijakan moneter lebih lanjut.