Sumber: Reuters | Editor: Yudho Winarto
KONTAN.CO.ID - YERUSALEM. Bank Sentral Israel tidak akan terburu-buru memangkas suku bunga acuan meskipun telah tercapai gencatan senjata di Gaza dan inflasi menurun bulan lalu.
Pasalnya, kondisi ekonomi masih cukup kuat dan peningkatan permintaan konsumen dikhawatirkan dapat kembali memicu tekanan harga, ujar Deputi Gubernur Bank of Israel, Andrew Abir, pada Kamis (16/10/2025).
Baca Juga: Israel dan Mesir Siapkan Pembukaan Perbatasan Rafah untuk Warga Sipil Gaza
Selama lebih dari tiga tahun terakhir, bank sentral menghadapi tekanan dari kalangan politisi, pelaku industri, dan pemilik kredit perumahan untuk segera melonggarkan kebijakan moneter yang ketat.
Suku bunga acuan tetap bertahan di level 4,5% hampir sepanjang dua tahun terakhir, di tengah konflik bersenjata antara Israel dan kelompok militan Hamas.
Meskipun para pejabat enggan menurunkan suku bunga selama masa perang, tercapainya kesepakatan gencatan senjata yang dimediasi Amerika Serikat (AS) telah mengubah ekspektasi pasar.
Banyak pelaku pasar kini memperkirakan pemangkasan suku bunga dapat terjadi pada rapat kebijakan 24 November mendatang, atau bahkan lebih cepat.
Namun, Abir menegaskan bahwa meskipun beberapa indikator mendukung pelonggaran kebijakan seperti turunnya inflasi dan menurunnya premi risiko, Bank of Israel akan tetap berhati-hati.
Baca Juga: Gencatan Senjata Gaza Tak Pengaruhi Gugatan Genosida Afrika Selatan terhadap Israel
“Kami melihat inflasi menurun ke 2,5% pada September, berada dalam target 1–3%. Namun, potensi peningkatan permintaan setelah berakhirnya perang dapat kembali memanaskan inflasi,” ujar Abir.
Ia menambahkan bahwa kembalinya para prajurit cadangan ke dunia kerja setelah gencatan senjata dapat membantu menormalkan pasokan tenaga kerja yang sempat terganggu dan menekan harga.
Namun, di sisi lain, peningkatan sentimen positif dan konsumsi rumah tangga pascaperang dapat memicu “lonjakan permintaan” yang berpotensi mendorong inflasi naik kembali.
“Dua kekuatan sisi penawaran dan sisi permintaan akan berpengaruh berbeda terhadap inflasi. Sulit untuk menilai mana yang akan lebih dominan,” katanya.
Abir juga menyatakan kekhawatiran akan potensi overheating di pasar perumahan, sehingga kebijakan moneter perlu tetap ketat untuk menjaga stabilitas.
“Kami tidak ingin merusak stabilitas yang sudah kami capai. Karena itu, kami tetap berhati-hati dalam menyesuaikan kebijakan moneter terhadap kondisi baru ini,” ujarnya.
“Kami hidup di Timur Tengah, situasi bisa berubah sangat cepat. Jadi, kami tidak akan gegabah menurunkan suku bunga hanya karena perang telah berhenti seminggu terakhir.”
Baca Juga: Israel Absen dari Kejuaraan Dunia Senam di Jakarta, Indonesia Tolak Visa Atlet
Ekonomi Lebih Tangguh dari Perkiraan
Abir menilai inflasi saat ini masih mendekati batas atas target bank sentral, sementara kinerja ekonomi ternyata lebih baik dari perkiraan selama masa perang.
Tingkat pertumbuhan ekonomi Israel tahun 2025 yang semula diproyeksikan 2,5% bahkan berpotensi direvisi naik, seiring meredanya konflik dan membaiknya investasi.
“Kami tidak dalam situasi buruk yang mengharuskan pemangkasan suku bunga besar-besaran. Ekonomi berjalan cukup baik,” kata Abir.
Baca Juga: Prabowo Ungkap Hasil KTT Gaza: Pembebasan Sandera dan Penarikan Pasukan Israel
Ia juga menambahkan bahwa berakhirnya pertempuran dapat meringankan beban fiskal pemerintah karena menurunnya kebutuhan belanja pertahanan, memberi ruang bagi pemerintah untuk menekan rasio utang.
Terkait nilai tukar shekel, Abir menegaskan bahwa intervensi pasar tidak diperlukan karena pasar valuta asing dinilai masih berfungsi dengan baik.