Reporter: Maizal Walfajri | Editor: Tri Adi
Menginjak usia 15 tahun, Ia mencoba menggarap bisnis tekstil. Choo mulai bekerja dengan tetangga yang sudah memiliki bisnis ini terlebih dahulu. Ia mendapat upah bayaran sebanyak S$ 30 setiap bulan. Tidak puas dengan upah yang diterima, Choo berhenti bekerja dengan tetangganya.
Bermodalkan uang pemberian dari sang Ibu sebesar S$ 50, Choo mencoba untuk membeli kain untuk mulai berjualan sendiri dari satu pasar ke pasar lain. Namun modal ini tidak cukup, Ia berusaha untuk mendapatkan dana pinjaman pada temannya sebesar S$ 6. Modal tersebut dia belikan kain dan memulai bisnisnya sendiri di pasar. Dengan modal yang pas-pasan, Choo tetap bertahan dan berusaha untuk bisa menabung.
Memiliki tabungan yang cukup diperkuat dengan pinjaman dari bank, saat Choo berusia 21 tahun Ia mulai melirik bisnis properti dengan membeli satu rumah toko (ruko). Hal ini cukup berani, lantaran pinjaman ini memiliki tenor waktu 10 tahun dengan bunga pinjaman sebesar 50%.
Namun kelihaian melihat peluang, Choo berhasil menyewakan dan mengumpulkan S$ 1.000 hingga S$ 2.000 setiap bulan dari ruko tersebut. Pendapatan ini kembali Ia investasikan untuk membeli lebih banyak unit ruko. Pada saat dia berusia 32 tahun, Choo telah berhasil membeli lebih dari 30 unit toko dan semuanya menghasilkan pendapatan sewa.
Sempat menginap di hotel murah di Tokyo pada tahun 1991 menginspirasi Choo untuk memulai hotel sendiri. Ruangan itu sangat kecil, dan harga yang ditawarkan sangat adil. Saya pikir ide ini bisa dibawa ke Singapura dan bisa menghasilkan uang, katanya dalam wawancara dengan Forbes.
Ia melihat sektor properti akan menjanjikan mengingat wilayah Singapura yang kecil. Tiga bulan setelah kepulangannya, ia melakukan upaya pertamanya dengan membeli tanah di Geylang seharga S$ 1,5 juta. Dia membangun 20 unit apartemen di atasnya, dan secara bertahap membangun lebih dari 100 unit apartemen yang tersebar di empat lahan di Geylang.
(Bersambung)