Reporter: SS. Kurniawan | Editor: S.S. Kurniawan
KONTAN.CO.ID - MOSCOW. Rusia berencana untuk menguji kapal selam tak berawak berhulu ledak nuklir di perairan Kutub Utara musim gugur ini, satu tahun setelah kecelakaan rudal bertenaga nuklir yang fatal menyebabkan lonjakan radiasi di kota terdekat.
Drone bawah air bernama Poseidon yang bertenaga nuklir akan menjalani uji coba dan meluncur dari kapal selam Belgorod, sumber industri pertahanan Rusia yang tidak disebutkan namanya mengatakan kepada kantor berita RIA Novosti, Selasa (26/5), seperti dilansir Moscow Times.
Rusia membuat drone berbentuk seperti torpedo raksasa untuk membawa hulu ledak nuklir seberat hingga dua megaton. Analis senjata menyebutnya sebagai "senjata nuklir hari kiamat".
Mendapat dukungan reaktor nuklir kecil, Poseidon memiliki jangkauan 10.000 kilometer untuk mengarungi lautan dunia. Meluncur dari Laut Barents atau perairan lain di Kutub Utara, drone bawah air tersebut bisa melintasi Atlantik Utara.
Baca Juga: Insiden panas, jet tempur Rusia cegat pesawat pengintai AS di Laut Mediterania
Jika diledakkan di lepas pantai timur Amerika Serikat (AS), hulu ledak nuklir yang Poseidon bawa bisa menciptakan gelombang tsunami setinggi puluhan meter di samping kerusakan yang disebabkan oleh ledakan nuklir itu sendiri.
Maret 2018, Presiden Rusia Vladimir Putin mengonfirmasi keberadaan drone bawah air raksasa. Poseidon adalah salah satu dari enam senjata nuklir strategis baru negeri beruang merah.
Pada Juli 2018, Departemen Pertahanan Rusia merilis sebuah video yang menunjukkan bengkel tempat drone itu dirakit, dan sebuah film animasi yang menunjukkan bagaimana drone digunakan dalam situasi perang yang sebenarnya.
“Drone memiliki beberapa keunggulan. Kapal selam dengan awak di atas kapal, tentu saja, adalah senjata yang kuat, tetapi ada batasan tertentu pada faktor manusia," kata mantan Kolonel Direktorat Intelijen Utama (GRU) Rusia Alexander Zhilin.
Baca Juga: Putin ubah tanggal baru untuk parade militer Rusia
"Poseidon secara praktis bisa waspada dan melakukan tugas kapan saja,” ujar dia kepada Sputnik Radio di bawah kontrol Kremlin, Selasa (26/5), seperti dikutip Moscow Times.
Zhilin, Kepala Pusat Studi Masalah Keamanan Nasional Terapan Publik Universitas Lobachevsky, Rusia, menepis kekhawatiran tentang potensi kerentanan drone terhadap peretas dan cyberterrorist.