Reporter: Barratut Taqiyyah | Editor: Barratut Taqiyyah Rafie
LONDON. Cobaan kembali melanda dunia penerbangan global. Setelah pesawat Malaysia Airlines ditembak jatuh oleh rudal kelompok separatis pro-Rusia dan jatuhnya TransAsia ATR 72 di Penghu Islands di Taiwan, kemarin (24/7), sebuah pesawat penumpang asal Al Jazair MD-83 hilang dari radar.
Pesawat yang mengangkut 116 orang ini dinyatakan hilang ketika pesawat tersebut masih berada di wilayah udara Mali dan sedang mendekati perbatasan Aljazair dari Burkina Faso. Hal ini menjadikan peristiwa tersebut sebagai kecelakaan pesawat ketiga terparah dalam sepekan terakhir.
Dikabarkan, ada 50 penumpang yang berkewarganegaraan Prancis dan 24 orang dari Burkina Faso. Penumpang lainnya adalah delapan orang dari Libanon, enam orang dari Al Jazair, lima orang dari Kanada, dan empat orang lainnya dari Jerman. Sementara ada dua penumpang yang berasal dari Luxemberg.
Pihak militer Prancis dan Al Jazair tengah mencari pesawat tersebut di wilayah Mali. Terkait hal itu, menurut Menteri Luar Negeri Prancis Laurent Fabius, militer Prancis mengerahkan dua jet tempur berjenis Mirage untuk membantu pencarian.
"Belum ada jejak pesawat yang ditemukan. Kemungkinan hilang. Jika tragedi ini sudah terkonfirmasi, hal ini terbilang peristiwa buruk yang melanda negara kami dan beberapa negara lainnya," jelas Fabius.
Berdasarkan Swiftair, perusahaan pesawat carter yang berbasis di Spanyol, pesawat dengan nomor penerbangan AH5017 dijadwalkan mendarat pada pukul 05.10 waktu setempat. Namun, menurut pemerintah Burkinabe, jet ini diprediksi jatuh tija jam sebelum mendarat, 80 kilometer (50 mil) dari kota Gossi, Mali.
"Kami sudah mengirim tim ke sana untuk memverifikasi di mana pesawat tersebut jatuh. Kami sudah mengontak pemerintah Mali," jelas Gilbert Diendere, Burkina Faso President Blaise Compaore’s chief of staff for military affairs pada konferensi pers tadi malam.
Dikabarkan, pesawat itu tidak jauh dari perbatasan Aljazair saat kru meminta izin ke menara kontrol di Niamey, Nigeria, untuk mengalihkan rute karena buruknya jarak pandang akibat badai dan untuk menghindari kemungkinan tabrakan dengan pesawat lain yang melayani rute Algiers-Bamako, setelah 40 menit lepas landas.
Kontak dengan pesawat tersebut hilang setelah permintaan perubahan rute dikabulkan pengawas lalu lintas udara.