Sumber: Express.co.uk | Editor: Noverius Laoli
KONTAN.CO.ID - Kongres Amerika Serikat (AS) telah menyetujui Rancangan Undang-Undang (RUU) Belanja Pertahanan senilai US$ 740 miliar atau setara Rp10,3 kuadriliun untuk membiayai kebijakan pertahanan pada tahun-tahun mendatang.
RUU tersebut berhasil diloloskan Senat AS pada hari Jumat dengan 81 suara berbanding 14 suara untuk membatalkan veto Presiden AS Donald Trump.
Butuh dua pertiga suara mayoritas kongres untuk membatalkan UU yang telah diveto presiden AS. Dan ini merupakan pertama kali dilakukan di era Trump.
Trump keberatan dengan undang-undang tersebut karena membatasi kemampuannya untuk menarik pasukan Amerika dari Afghanistan dan Eropa dan tidak menghapus perlindungan tanggung jawab dari perusahaan media sosial.
Baca Juga: Berlaku 1 Januari 2021, militer China semakin kuat di bawah UU pertahanan yang baru
Tercapainya aliansi lintas partai dari anggota Parlemen Partai Demokrat dan Republik menandakan keprihatinan tersendiri dari AS. Dalam RUU itu, mendorong peningkatan kehadiran militer AS di Samudra Pasifik.
Hal ini tak terlepas dari ketegangan hubungan AS dengan China yang kian meruncing di masa kepresidenan Trump. Dimana Washington menolak dengan tegas klaim sepihak Beijing atas Laut China Selatan.
UU baru yang mencapai 4.500 halaman ini dirancang oleh Komite Angkatan Bersenjata Senat AS. Pimpinannya adalah senator Republik, James Inhofe. Ia mengklaim bahwa Beijing sedang mempersiapkan perang dunia ke III di Laut China Selatan.
"Kami berada dalam situasi paling berbahaya yang pernah kami alami sebelumnya," ujarnya seperti dilansir Express.co.uk, Senin (4/1).
Baca Juga: Jadi negara terkuat di dunia, ini peta kekuatan militer AS
Jack Reed, senator Demokrat yang berada di Komite Angkatan Bersenjata Senat juga mengatakan hal senada. “Ini adalah pertama kalinya kami benar-benar mundur dan Kami memiliki ancaman baru yang meningkat di Pasifik. Kita harus mengambil pandangan holistik," sambungnya.
Ketegangan antara AS dan China telah melonjak selama masa jabatan Trump. Kedua negara adidaya itu telah bentrok karena perdagangan, virus corona, hak asasi manusia, dan sejumlah sengketa wilayah.
Klaim kedaulatan Beijing atas Laut Cina Selatan tumpang tindih dengan klaim saingan dari enam tetangganya.
Amerika Serikat, dan kekuatan barat lainnya, menolak untuk menerima klaim China dan menunjukkan ini dengan mengirimkan kapal perang pada patroli 'kebebasan navigasi' melalui wilayah tersebut.
Baca Juga: Kapal Induk Inggris bakal ke Laut China Selatan, begini respons China
Pada bulan Desember, Wall Street Journal menerbitkan sebuah artikel oleh John Ratcliffe, direktur intelijen nasional AS, memperingatkan orang Amerika untuk mempersiapkan "periode konfrontasi terbuka".
Dia berpendapat Beijing harus tunduk kekuatan dominan dunia. China membalas dengan menggambarkan tuduhan itu sebagai "ramuan kebohongan".