Sumber: Economic Times | Editor: Handoyo .
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Pandemi COVID-19 yang melanda dunia telah menyebabkan ketidakpastian ekonomi global. Banyak bank di seluruh dunia berjuang untuk mengendalikan inflasi sejak 2021, ketika angka inflasi melonjak akibat dampak pandemi.
Dalam masa ketidakpastian ini, banyak orang beralih ke aset yang dianggap lebih aman untuk melindungi nilai investasi mereka. Aset-aset ini dikenal sebagai "safe-haven assets", yang diharapkan tetap stabil saat mata uang fiat dan pasar saham berisiko terdepresiasi.
Emas telah lama dikenal sebagai sumber nilai yang stabil, memberikan rasa aman terutama pada masa-masa yang tidak pasti. Sementara itu, cryptocurrency, khususnya Bitcoin, muncul sebagai salah satu aset digital yang semakin populer secara global.
Baca Juga: Trump Guncang Dunia Keuangan dengan Cadangan Bitcoin, Kapitalisasi Capai US$15 T
Bitcoin beroperasi di jaringan desentralisasi dan tahan terhadap intervensi pemerintah. Meskipun ada fase volatilitas yang tinggi dan penurunan harga yang dramatis, tren Bitcoin secara keseluruhan tetap menunjukkan kenaikan yang signifikan.
Ini menumbuhkan rasa ingin tahu akan potensinya sebagai penyimpan nilai jangka panjang untuk melawan inflasi dan ketidakstabilan pasar.
Bitcoin sering disebut sebagai "emas digital", menarik perhatian baik dari investor maupun organisasi berkat struktur desentralisasinya, jumlah yang terbatas, serta kemampuannya untuk memfasilitasi transaksi global dengan lancar.
Emas vs Cryptocurrency: Mana Pilihan Investasi yang Lebih Baik?
Emas merupakan aset fisik yang sudah dikenal luas dan memiliki likuiditas tinggi di pasar global. Sebagai logam mulia, emas mudah dibeli, dijual, atau ditukar di berbagai pasar di dunia. Sejarah panjang emas sebagai alat penyimpan nilai menjadikannya investasi yang cukup dapat diandalkan, terutama saat situasi ekonomi tidak menentu.
Namun, ada beberapa tantangan yang terkait dengan investasi emas. Penyimpanan emas memerlukan perlindungan fisik, seperti brankas atau safe deposit box, dan sering kali memerlukan biaya penyimpanan serta asuransi. Selain itu, meskipun tambang emas terus menghasilkan pasokan baru, proses penambangan semakin kompleks dan mahal.
Berbeda dengan emas, cryptocurrency, terutama Bitcoin, adalah aset digital yang tersimpan dalam dompet digital dan dicatat di blockchain. Bitcoin memiliki likuiditas yang sangat tinggi, dan semakin banyak digunakan dalam pasar keuangan.
Baca Juga: Bitcoin Bisa Mengarah ke US$ 200.000 pada 2025
Bitcoin memiliki jumlah pasokan yang terbatas, yaitu hanya 21 juta koin, yang semakin menarik perhatian berbagai kalangan investor, khususnya generasi muda.
Salah satu aspek yang membedakan cryptocurrency dengan sistem moneter tradisional adalah desentralisasinya. Cryptocurrency tidak tunduk pada yurisdiksi otoritas pusat manapun, dan dinamika keuangannya ditentukan oleh algoritma, bukan oleh keputusan manusia.
Hal ini menggambarkan cita-cita awal cryptocurrency untuk menciptakan sistem keuangan yang bebas dari tantangan yang dihadapi oleh sistem keuangan konvensional.
Prospek Cryptocurrency sebagai Aset Safe-Haven
Berkat sifat desentralisasinya dan performa pasar yang kuat meskipun ada ketidakpastian ekonomi baru-baru ini, banyak individu kini mulai melihat Bitcoin sebagai aset baru yang menjanjikan untuk menyimpan uang dan melindungi diri dari ketidakstabilan ekonomi.
Baca Juga: Harga Bitcoin Menanjak Ditopang Data CPI dan Sentimen The Fed
Pasar cryptocurrency menunjukkan potensi yang semakin besar, dengan proyeksi pendapatan yang diperkirakan mencapai USD 56,7 miliar pada akhir tahun ini, seperti yang dilaporkan oleh Statista.
Namun, meskipun Bitcoin dan cryptocurrency lainnya menunjukkan daya tarik sebagai "emas digital", tantangan besar tetap ada. Volatilitas yang sangat tinggi dan kurangnya regulasi yang jelas menjadi faktor yang dapat menghambat adopsinya sebagai alat investasi jangka panjang yang stabil.
Pada akhirnya, baik emas maupun cryptocurrency memiliki keunggulan dan tantangan masing-masing sebagai pilihan investasi.