Reporter: Noverius Laoli | Editor: Noverius Laoli
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Amazon Prime Day kini menjadi salah satu instrumen belanja daring terbesar di dunia.
Pada 2024, acara ini menghasilkan penjualan senilai US$ 14,2 miliar, menjadikannya momen penting dalam kalender ritel global.
Namun, di balik keberhasilan tersebut, terdapat kisah awal yang dimulai dari satu ide visioner yang dipresentasikan kepada pendiri Amazon, Jeff Bezos.
Mengutip Fortune, Kamis (10/7/2025), gagasan Prime Day bermula pada awal 2010-an ketika Diego Piacentini, eksekutif senior Amazon yang sebelumnya berkarier di Apple, memimpin ekspansi internasional perusahaan.
Baca Juga: Jeff Bezos Jual Lagi Saham Amazon, Bagian dari Rencana Lepas 25 Juta Saham
Saat itu, Amazon tengah memperluas jangkauan globalnya dan mencari cara untuk meningkatkan keterlibatan pelanggan serta memperluas jumlah anggota Prime di luar Amerika Serikat.
Piacentini menemukan inspirasinya dari Singles Day Alibaba di China, yang telah berkembang menjadi ajang belanja daring terbesar di dunia.
Menyadari potensi konsep serupa, ia mengusulkan kepada Bezos agar Amazon mengadakan acara diskon sendiri. Bezos pun menyambut ide tersebut, terutama karena ia melihat potensi besar untuk meningkatkan pelanggan layanan berlangganan Amazon Prime.
Setelah mendapatkan persetujuan, para eksekutif Amazon mempertimbangkan berbagai waktu pelaksanaan. Alih-alih bersaing langsung dengan Singles Day yang berlangsung pada November, mereka memilih menggelar acara pada musim panas, periode yang relatif sepi dalam dunia ritel.
Selain memberi peluang konsumen yang belum menghabiskan anggaran belanja liburan, waktu ini juga memberikan kelonggaran kapasitas gudang.
Rencana itu akhirnya disetujui pada Januari 2015, dan Prime Day pertama diluncurkan pada 15 Juli 2015, bertepatan dengan ulang tahun ke-20 Amazon.
Baca Juga: Jeff Bezos Menjual 3,3 Juta Saham Amazon Senilai US$ 737 Juta pada Akhir Juni
Secara internal, proyek ini diberi nama kode “Project Piñata.” Meagan Wulff Reibstein, manajer produk muda saat itu, bertugas mengeksekusi peluncuran Prime Day. Ia mengunjungi sejumlah kantor Amazon di Tokyo, London, Paris, dan Munich untuk membujuk mitra dan pemasok agar ikut serta.
Peluncuran perdana Prime Day di sembilan negara langsung mendapat perhatian besar. Di Jepang, lonjakan lalu lintas membuat situs Amazon sempat tumbang. Di Eropa dan AS, konsumen menyerbu berbagai penawaran, meski ada keluhan terkait keterbatasan stok dan diskon yang kurang menarik.
Kendati begitu, hasilnya tetap mencengangkan: 34,4 juta produk terjual hanya dalam satu hari, dan Amazon mencatatkan penambahan 1,2 juta anggota Prime baru. CFO Amazon, Brian Olsavsky, bahkan menyebutnya sebagai “Natal di bulan Juli”—hari yang lebih besar daripada Black Friday.
Sejak saat itu, Prime Day berkembang pesat. Pada tahun kedua, penjualannya melonjak 60%. Tahun 2019, durasinya diperpanjang menjadi dua hari. Kini, pada 2025, Prime Day digelar selama empat hari penuh, dari Selasa 8 Juli hingga Jumat 11 Juli.
Baca Juga: Setelah Menikah, Jeff Bezos Jual Saham Amazon Senilai US$ 5,4 Miliar
Acara ini telah menjadi pilar penting dalam strategi bisnis Amazon. Tahun lalu, pelanggan dari 23 negara membeli lebih dari 300 juta barang, dengan rata-rata pembelian mendekati 60 dolar per pesanan.
Sebagian besar pembeli (88%) merupakan anggota Prime, dan 85% dari mereka telah berlangganan lebih dari setahun. Produk paling laris? Amazon Fire Stick.
Prime Day bukan hanya mendorong penjualan dalam skala besar, tetapi juga memperkuat ekosistem Amazon dan mempertahankan loyalitas pelanggan. Yang bermula dari inspirasi sederhana kini telah menjadi tonggak utama dalam lanskap ritel global.