Sumber: Reuters | Editor: Yudho Winarto
KONTAN.CO.ID – JAKARTA. Saham Puma anjlok hingga 16% pada Jumat (25/7/2025) setelah produsen pakaian olahraga asal Jerman itu memperkirakan akan merugi pada tahun 2025, di tengah penurunan penjualan dan dampak negatif dari tarif impor Amerika Serikat.
Puma menghadapi kesulitan dalam menarik konsumen, terutama karena peluncuran ulang sepatu retro seperti Speedcat tidak berhasil mendorong penjualan seperti yang diharapkan.
Baca Juga: Persaingan Ketat, Puma Lakukan PHK Global dan Tutup Gerai
CEO baru Puma Arthur Hoeld yang mulai menjabat sejak 1 Juli, menyebut perusahaan perlu melakukan “koreksi arah.”
“Tahun ini, 2025, akan menjadi masa reset bagi Puma. Tahun 2026 akan menjadi masa transisi,” ujar Hoeld, yang sebelumnya menjabat sebagai kepala penjualan Adidas dan ditunjuk oleh dewan direksi Puma pada April lalu untuk memulihkan kinerja perusahaan.
“Kami sebagai perusahaan harus bercermin. Merek ini punya potensi besar yang belum tergali, namun juga membutuhkan penyegaran dan arah baru,” tambahnya dalam konferensi pers.
Hoeld menyampaikan akan meninjau kembali rencana pertumbuhan Puma dan memperkuat kualitas distribusi grosir. Ia berjanji akan memaparkan peta jalan strategi baru perusahaan pada akhir Oktober.
Analis RBC, Piral Dadhania, menyebut Puma tengah menghadapi “krisis identitas eksistensial” dalam industri perlengkapan olahraga yang semakin kompetitif, apalagi saat Nike bersiap melakukan comeback besar pada musim gugur/dingin 2025.
Baca Juga: Neymar Geram Dihina Suporter: “Saya Akan Pergi Jika Saya Merugikan Santos”
Dampak Tarif AS
Chief Financial Officer Puma, Markus Neubrand mengatakan, tarif impor dari AS akan menggerus laba kotor perusahaan sekitar 80 juta euro (sekitar US$ 94 juta) tahun ini, meskipun perusahaan berupaya menanggulangi dampak tersebut lewat kenaikan harga di pasar AS pada kuartal IV.
Puma, seperti Nike dan Adidas, sangat bergantung pada negara-negara Asia Tenggara seperti Vietnam untuk memproduksi sepatu dan pakaian yang diimpor ke AS, sehingga sangat rentan terhadap kebijakan tarif.
Untuk mengantisipasi tarif tambahan, Puma telah mempercepat pengiriman produk dari Asia ke AS sebelum tenggat tarif diberlakukan, yang menyebabkan lonjakan persediaan dan mendorong terjadinya diskon besar-besaran.
Sebagian besar produk Puma yang dijual di AS diproduksi di Vietnam, Kamboja, dan Indonesia.
Baca Juga: 10 Pembelian Termahal Klub Liga Primer Inggris di Bursa Transfer Musim Panas 2025
Neubrand menambahkan bahwa perusahaan berencana mengurangi ketergantungan dari China untuk pasar AS, dari sekitar 10% saat ini menjadi lebih rendah lagi.
Dalam laporan pendapatan awal yang dirilis Kamis (24/7/2025) malam, Puma menyatakan penjualan tahunan kemungkinan turun lebih dari 10%, padahal sebelumnya menargetkan pertumbuhan di kisaran satu digit rendah hingga menengah.
Penjualan kuartal II Puma yang disesuaikan dengan fluktuasi mata uang tercatat sebesar 1,94 miliar euro, lebih rendah dari estimasi analis. Penjualan di Amerika Utara turun 9,1%, sementara Eropa merosot 3,9%.
Puma belum mengungkapkan seberapa besar kerugian yang diperkirakan, tetapi sebelumnya perusahaan menargetkan laba sebelum bunga dan pajak (EBIT) tahunan di kisaran 445 juta hingga 525 juta euro.
Perusahaan juga memangkas belanja modal (capex) tahun ini menjadi 250 juta euro, dari sebelumnya 300 juta euro.