Reporter: Barratut Taqiyyah Rafie | Editor: Barratut Taqiyyah Rafie
KONTAN.CO.ID - NEW YORK. Pada pekan lalu, Federal Reserve mengumumkan kenaikan suku bunga terbesar dalam 28 tahun. The Fed menaikkan suku bunga sebesar 75 basis poin, dalam upaya untuk mengendalikan inflasi yang merajalela, yang mencapai puncak baru di titik 8,6% pada bulan Mei.
Inflasi tetap tinggi sepanjang tahun 2022 dan para ekonom serta pakar keuangan khawatir perekonomian Amerika sedang menuju resesi.
Melansir Bloomberg, Ekonom Nomura Holdings Inc memprediksi, perekonomian AS kemungkinan besar akan jatuh ke dalam juranf resesi ringan pada akhir 2022 karena Federal Reserve menaikkan suku bunga untuk menjinakkan harga.
Nomura memperingatkan bahwa kondisi keuangan akan semakin ketat, sentimen konsumen memburuk, distorsi pasokan energi dan makanan memburuk dan prospek pertumbuhan global memburuk.
"Dengan momentum pertumbuhan yang melambat dengan cepat dan Fed berkomitmen untuk memulihkan stabilitas harga, kami percaya resesi ringan yang dimulai pada kuartal keempat 2022 sekarang lebih mungkin terjadi daripada tidak," tulis ekonom Nomura Aichi Amemiya dan Robert Dent dalam sebuah catatan Senin.
Menurut kedua ekonom Nomura tersebut, kelebihan tabungan dan neraca konsumen akan membantu mengurangi kecepatan kontraksi ekonomi. Namun, mereka mencatat bahwa kebijakan moneter dan fiskal akan dibatasi oleh inflasi yang tinggi.
Baca Juga: Ini Kemungkinan Dampak yang Akan Terjadi Bagi Indonesia Jika AS Resesi
Nomura telah menurunkan perkiraan PDB riil untuk tahun ini menjadi 1,8%, dibandingkan sebelumnya di level 2,5%. Sedangkan proyeksi untuk tahun depan terlihat menurun 1%, dari pertumbuhan sebelumnya di 1,3%.
Analisis tersebut muncul ketika Menteri Keuangan Janet Yellen mengatakan pada hari Minggu bahwa harga yang "sangat tinggi" kemungkinan akan bertahan hingga tahun 2022. Dia juga memperkirakan ekonomi AS akan melambat.
Secara terpisah, Presiden Federal Reserve Bank of Cleveland Loretta Mester mengatakan pada hari Minggu bahwa risiko resesi dalam ekonomi AS meningkat, dan akan memakan waktu beberapa tahun untuk kembali ke tujuan inflasi 2% bank sentral.
"Dengan inflasi bulanan hingga akhir 2022 kemungkinan akan tetap tinggi, kami percaya respons Fed terhadap penurunan pada awalnya akan diredam," tulis analis Nomura dalam catatan mereka.
Mereka memperkirakan kenaikan suku bunga akan berlanjut hingga tahun 2023, tetapi dengan tingkat yang sedikit lebih rendah sebesar 3,50-3,75% yang dicapai pada bulan Februari, dibandingkan dengan perkiraan sebelumnya sebesar 3,75-4,00% pada bulan Maret.
Baca Juga: Ekonom: Pelemahan Rupiah Bersifat Sementara, Akhir Tahun Kembali Menguat
Ramalan Bank of America
Sementara itu, mengutip Reuters, Ekonom BofA Securities melihat ada peluang sebesar 40% bahwa resesi AS akan terjadi pada tahun depan, dengan inflasi tetap tinggi.
Mereka memperkirakan pertumbuhan Produk Domestik Bruto AS melambat menjadi hampir nol pada paruh kedua tahun depan karena dampak tertinggal dari kondisi keuangan yang lebih ketat. Selain itu, BoA melihat rebound yang moderat dalam pertumbuhan pada tahun 2024.
"Ketakutan terburuk kami di sekitar Fed telah dikonfirmasi: mereka jatuh jauh di belakang kurva dan sekarang memainkan permainan kejar-mengejar yang berbahaya," tulis Ethan Harris, ekonom global di BoA.
Dia memprediksi, The Fed bakal menaikkan suku bunga ke level di atas 4%.
Berbeda dengan Nomura, ekonom Bank of America melihat risiko resesi terjadi untuk tahun ini cukup rendah.
Para ekonom BoA Global juga menurunkan proyeksi pertumbuhan global mereka, dengan merujuk sejumlah faktor yang mempengaruhi yaitu inflasi, perang di Ukraina dan penguncian terkait COVID di China. BoA sekarang memprediksi pertumbuhan ekonomi global sebesar 3,2%.
Mereka melihat risiko lebih lanjut terhadap pertumbuhan 2022 jika penguncian ketat berlanjut di China, dan terhadap pertumbuhan 2023 jika ekonomi AS tergelincir ke dalam resesi.
"Lonjakan harga energi di tengah perang Rusia-Ukraina telah menyebabkan melonjaknya inflasi di seluruh dunia, yang pada gilirannya telah memaksa bank sentral bersikap menjadi lebih hawkish,” tulis para ekonom.