Sumber: Reuters | Editor: Herlina Kartika Dewi
KONTAN.CO.ID - LONDON. Harga emas naik pada Selasa (13/5) karena dolar yang lebih lemah dan optimisme awal atas gencatan senjata perdagangan antara Amerika Serikat dan China mereda. Sementara investor menantikan data inflasi AS yang akan dirilis pada hari ini.
Mengutip Reuters, Selasa (13/5), harga emas spot naik 0,6% menjadi US$ 3.254,39 per ons troi, pada pukul 06.39 GMT. Harga emas berjangka AS naik 1% menjadi US$ 3.258,70 per ons troi.
Indeks dolar merosot 0,2% setelah kenaikan tajam pada sesi sebelumnya. Pelemahan dolar membuat emas lebih murah bagi mereka yang memegang mata uang lain.
"Ketidakpastian seputar tarif perdagangan masih ada di pasar... pasar saham sedang beristirahat setelah reli besar-besaran dan kami melihat sedikit penurunan dolar," kata Carlo Alberto De Casa, analis eksternal di Swissquote.
Baca Juga: Harga Emas Mendekati Level Terendah Lebih dari Satu Minggu Jelang Selasa (13/5) Siang
Pada hari Senin, AS dan China mengumumkan pengurangan tarif untuk tiga bulan ke depan, dengan tarif AS atas impor China turun dari 145% menjadi 30% dan bea masuk China atas impor AS turun menjadi 10% dari 125%, yang menyebabkan lonjakan saham global.
AS dan China telah memberlakukan tarif balasan satu sama lain bulan lalu, yang memicu perang dagang.
Para pedagang kini menunggu laporan Indeks Harga Konsumen AS untuk mendapatkan sinyal baru mengenai lintasan kebijakan moneter Federal Reserve.
Pasar memperkirakan penurunan suku bunga sebesar 55 basis poin tahun ini oleh Fed, mulai September.
"Jika data inflasi menghasilkan penurunan yang meleset, ini dapat mengurangi momentum dolar AS, yang dapat menyebabkan emas mengalami kenaikan ke depan," kata Kepala Analis Pasar KCM Trade, Tim Waterer.
Baca Juga: Harga Emas Spot Stabil Pagi Ini, Investor Tahan Aksi Jual Jelang Data Inflasi AS
Emas, yang secara tradisional dianggap sebagai aset safe haven selama masa ketidakpastian politik dan ekonomi, cenderung tumbuh dalam lingkungan suku bunga rendah.
Di sisi teknis, emas spot dapat menguji ulang support pada US$ 3.206 per ons, penembusan di bawahnya dapat membuka jalan menuju US$ 3.135, menurut analis teknis Reuters, Wang Tao.