Sumber: Reuters | Editor: Yudho Winarto
Ancaman Houthi di Laut Merah
Houthis, kelompok bersenjata yang telah menguasai sebagian besar wilayah Yaman selama satu dekade terakhir, mengancam akan kembali menyerang kapal-kapal Israel di Laut Merah jika Israel tidak mencabut blokade bantuan ke Gaza.
Sejak November 2023, Houthis telah meluncurkan puluhan serangan terhadap kapal dagang sebagai bentuk solidaritas terhadap Palestina dalam konflik Israel-Hamas.
Serangan ini mengganggu perdagangan global dan memaksa militer AS untuk melakukan operasi pertahanan mahal guna mencegat rudal dan drone yang ditembakkan Houthi.
Namun, sejak gencatan senjata antara Israel dan Hamas pada Januari, Houthis belum melanjutkan serangan.
Meski demikian, pada 12 Maret, juru bicara militer Houthi menegaskan bahwa ancaman terhadap kapal-kapal Israel tetap berlaku hingga bantuan ke Gaza kembali mengalir.
Baca Juga: Israel: Kelompok Houthi akan Bernasib Sama dengan Hamas dan Hizbullah
AS Tingkatkan Tekanan Militer
Pemerintahan Trump kini menerapkan pendekatan yang lebih agresif dibandingkan pemerintahan sebelumnya di bawah Presiden Joe Biden, yang lebih membatasi serangan militer terhadap Houthi.
"Kepada semua teroris Houthi, WAKTU KALIAN HABIS! SERANGAN KALIAN HARUS BERHENTI, MULAI HARI INI! JIKA TIDAK, NERAKA AKAN TURUN KE ATAS KALIAN SEPERTI YANG BELUM PERNAH KALIAN LIHAT SEBELUMNYA!" tulis Trump di Truth Social pada Sabtu malam.
Komando Pusat Militer AS (CENTCOM) menyebut serangan hari Sabtu sebagai awal dari operasi skala besar di seluruh Yaman.
Serangan dilakukan menggunakan jet tempur dari kapal induk USS Harry S. Truman, yang saat ini berada di Laut Merah.
"Serangan Houthi terhadap kapal dan pesawat AS, serta tentara kita, tidak akan ditoleransi. Iran, sebagai pendukung mereka, telah diberi peringatan," kata Menteri Pertahanan AS Pete Hegseth di platform X.
Baca Juga: Israel Perluas Produksi Rudal Arrow 3, Ancaman Baru bagi Iran dan Houthi
Sementara itu, Kementerian Luar Negeri Iran mengutuk serangan AS sebagai "pelanggaran berat terhadap Piagam PBB dan hukum internasional".
Menteri Luar Negeri Iran Abbas Araqchi menegaskan bahwa "AS tidak memiliki otoritas atau hak untuk mendikte kebijakan luar negeri Iran."
Kelompok bersenjata Hezbollah di Lebanon, yang juga didukung Iran, mengecam serangan AS dengan menyebutnya sebagai "agresi barbar, kejahatan perang, dan pelanggaran hukum internasional".