Sumber: Telegraph | Editor: Barratut Taqiyyah Rafie
Raksasa yang Tumbang
Kampanye anti-korupsi ini telah "memangkas habis" berbagai cabang militer dan politik China.
Pada 2014 dan 2015, dua mantan wakil ketua Komisi Militer Pusat, organ militer utama China, disingkirkan. Kemudian, awal tahun ini, seorang wakil ketua aktif komisi tersebut (pejabat militer tertinggi kedua di China) juga dipecat, menjadi pejabat paling senior yang ditargetkan hingga saat ini.
Puluhan pejabat lain di angkatan laut, darat, pasukan roket, dan angkatan udara juga dipecat, termasuk para tokoh senior di industri senjata.
Pada 2023, pimpinan tiga produsen pertahanan terkemuka disingkirkan, termasuk Liu Shiquan, ketua China North Industries Corporation (Norinco). Akibatnya, Norinco mencatat penurunan pendapatan mengejutkan sebesar 31% pada 2024. Ini menjadi penurunan terbesar di antara perusahaan China mana pun.
Selain Liu, Wu Yansheng (Ketua China Aerospace Science and Technology Corporation/CASC) dan Wang Changqing (Wakil Manajer China Aerospace Science and Industry Corporation) juga turut disingkirkan.
CASC, yang merupakan produsen utama dirgantara dan rudal China, mengalami penurunan pendapatan 16%. Laporan SIPRI mencatat penurunan ini sebagian besar disebabkan oleh penundaan proyek satelit militer dan kendaraan peluncur pasca pemecatan Wu.
Perusahaan militer besar lainnya, China Electronics Technology Group Corporation (CETC), turun 10%. Sementara pemasok senjata utama negara itu, Aviation Industry Corporation of China, turun sedikit di atas satu persen.
Hanya dua perusahaan China yang mencatat kenaikan pendapatan: China State Shipbuilding Corporation dan Aero Engine Corporation of China.
Tonton: Purbaya Investigasi Dugaan Praktik Penggelapan Ekspor-Impor Indonesia dengan China
Kecemasan Xi Jinping
Angka-angka ini kemungkinan besar membuat Xi cemas. Presiden China tersebut menjadikan ekspansi militer sebagai target utama dalam upayanya memperluas kontrol teritorial di Laut China Selatan dan terus mengancam akan melakukan "reunifikasi" paksa terhadap Taiwan.
Peneliti SIPRI, Xiao Liang, mengatakan bahwa jadwal pengembangan sistem canggih untuk Pasukan Roket Tentara Pembebasan Rakyat (PLA), yang menangani arsenal rudal balistik, hipersonik, dan jelajah, bisa jadi terganggu, begitu pula dengan program dirgantara dan siber.
Beijing kini juga harus menghadapi peningkatan militerisasi di negara tetangga, Jepang, seiring memanasnya ketegangan kedua negara setelah Perdana Menteri Sanae Takaichi menyatakan bahwa krisis di Taiwan dapat memicu respons militer Jepang.
Kesimpulan
1.Blunder Internal: Ambisi Xi Jinping memperkuat militer justru terhambat oleh kebijakan anti-korupsinya sendiri. Pemecatan massal para pejabat tinggi menyebabkan penundaan dan pembatalan kontrak senjata vital.
2. Anomali Global: Di saat industri pertahanan dunia (terutama Jepang, Jerman, dan Korea Selatan) sedang panen keuntungan dan tumbuh pesat, industri pertahanan China justru mengalami kontraksi (minus 10%).
3. Dampak Nyata: Raksasa senjata seperti Norinco dan CASC mengalami kerugian besar (turun 16-31%). Proyek krusial seperti satelit militer dan rudal menjadi korban penundaan.
4. Tantangan Ganda: China kini terjepit antara masalah internal (produksi senjata macet) dan tekanan eksternal (Jepang dan AS yang terus memperkuat militer mereka).













