Reporter: Barratut Taqiyyah Rafie | Editor: Barratut Taqiyyah Rafie
KONTAN.CO.ID - ANKARA. Inflasi di Turki kembali melesat mencapai level 85,5% pada Oktober. Ini merupakan level tertinggi sejak Juni 1998. Mengutip Euronews, rekor inflasi tahunan sebelumnya (85,67%) terjadi pada tahun 1997. Dengan demikian, lonjakan inflasi ini sudah terjadi selama 17 bulan berturut-turut.
Beberapa ahli menilai bahwa inflasi jauh lebih tinggi daripada angka resmi dan telah menempatkan tingkat tahunan pada level 185%.
Melansir CNBC, Institut Statistik Turki melaporkan, lonjakan inflasi dipicu oleh kenaikan harga makanan sebesar 99%. Angka ini lebih tinggi dari periode yang sama tahun lalu. Selain itu, inflasi juga terdorong oleh inflasi perumahan yang naik 85% dan transportasi naik 117%.
Indeks harga produsen domestik menunjukkan kenaikan 157,69% setiap tahun dan naik 7,83% secara bulanan. Kenaikan bulanan harga konsumen adalah 3,54%.
Kenaikan dramatis dalam biaya hidup untuk negara berpenduduk 85 juta ini terus berlanjut selama hampir dua tahun, seiring dengan devaluasi signifikan mata uang Turki, lira.
Baca Juga: Turki Berjanji Bangun Pusat Gas Internasional untuk Memasok Gas Rusia ke Eropa
Mengutip Euronews, sejumlah analis mengatakan tingkat inflasi yang tinggi dipicu oleh pandemi COVID-19 dan perang Ukraina, serta keyakinan Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan bahwa suku bunga tinggi mendorong inflasi dan menyebabkan harga lebih tinggi.
Secara kontroversial, Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan menolak untuk menaikkan suku bunga. Dia bersikeras bahwa kondisi itu akan merugikan ekonomi.
Sebaliknya, bank sentral di seluruh dunia telah secara agresif menaikkan suku bunga untuk melawan inflasi yang melonjak.
Ekonom dan kritikus mengatakan, kebijakan Erdogan terus memukul lira dan mendorong inflasi, sehingga memicu krisis mata uang.
Baca Juga: UEA: Keputusan Bulat OPEC+ Tidak Terkait Politik & Tidak Untuk Mengerek Harga Minyak
CNBC memberitakan, bank sentral Turki pada 20 Oktober memangkas suku bunga utamanya sebesar 150 basis poin untuk pemotongan tiga bulan berturut-turut, dari 12% menjadi 10,5%. Langkah ini tetap dilakukan meskipun inflasi Turki lebih dari 83% pada saat itu.
Erdogan mengatakan pemotongan itu merupakan kebijakan pro-pertumbuhan, dan itu akan terus berlanjut. Presiden tetap bertekad untuk menurunkan suku bunga negara menjadi satu digit pada akhir tahun ini.
“Pertempuran terbesar saya adalah melawan bunga. Musuh terbesar saya adalah minat. Kami turunkan suku bunga menjadi 12%,” kata Presiden dalam sebuah acara di akhir September.
"Apa itu cukup? Ini tidak cukup. Ini perlu diturunkan lebih jauh," tambahnya.
Sementara itu, sejumlah ekonom menilai perekonomian Turki masih akan berada di bawah pengendalian Erdogan.
"Bank sentral Turki akan tetap berada di bawah tekanan dari Presiden Erdogan untuk kebijakan yang lebih longgar," tulis Liam Peach, ekonom senior pasar berkembang di Capital Economics yang berbasis di London, dalam sebuah catatan analis setelah data dirilis.
Baca Juga: Perang di Ukraina, Putin Perintahkan Mobilisasi Pertama Rusia sejak Perang Dunia II
Dia menambahkan, meskipun CBRT [Bank Sentral Republik Turki] mengatakan akan memberikan satu lagi penurunan suku bunga 150 bp pada pertemuannya akhir bulan ini, ada risiko pelonggaran lebih lanjut di luar itu.
"Kondisi ini kian menambah lebih banyak tekanan ke bawah pada lira," jelasnya.
Informasi saja, lira tak banyak mengalami perubahan pada transaksi kemarin di level 18,61 terhadap dolar. Mata uang itu sudah kehilangan lebih dari 28% nilainya terhadap greenback tahun ini dan hampir 50% dalam setahun penuh terakhir.
Erdogan telah mempertahankan kebijakan ekonominya menjelang pemilihan tahun depan dan telah berjanji bahwa negara itu akan "mengatasi" masalah inflasi setelah Tahun Baru.