Reporter: Barratut Taqiyyah Rafie | Editor: Barratut Taqiyyah Rafie
KONTAN.CO.ID - LONDON. Seminggu yang lalu, Bank of England mengambil langkah yang salah dalam kebijakan fiskalnya. Yakni menaikkan suku bunga untuk mengatasi inflasi.
Melansir CNN, kurang dari 24 jam kemudian, pemerintah Perdana Menteri Inggris yang baru Liz Truss mengumumkan rencananya untuk pemotongan pajak terbesar dalam 50 tahun. Kebijakan ini bertujuan untuk mengerek kembali pertumbuhan ekonomi. Namun nyatanya, pemangkasan pajak meniup lubang besar dalam keuangan negara dan kredibilitasnya di mata investor.
Alhasil, nilai tukar poundsterling jatuh ke rekor terendah terhadap dolar AS pada hari Senin. Kondisi ini terjadi setelah menteri keuangan Inggris Kwasi Kwarteng menggandakan taruhannya dengan mengisyaratkan lebih banyak pemotongan pajak yang akan datang tanpa menjelaskan bagaimana cara membayarnya.
Harga obligasi Inggris jatuh, sehingga menyebabkan biaya pinjaman melonjak. Kondisi ini juga memicu kekacauan di pasar hipotek dan mendorong dana pensiun ke ambang kebangkrutan.
Sebelumnya, pasar keuangan Inggris sudah dalam keadaan demam karena meningkatnya risiko resesi global dan terjadinya tiga kenaikan suku bunga yang sangat besar dari bank sentral AS dalam rangka perang melawan inflasi.
Baca Juga: Siap-Siap, Badai Ekonomi Global Menerjang
“Anda harus memiliki kebijakan yang kuat dan kredibel, dan setiap kesalahan langkah kebijakan akan mendapat hukuman,” kata Chris Turner, kepala pasar global di ING.
Setelah jaminan verbal oleh Departemen Keuangan Inggris dan Bank of England gagal untuk menenangkan kepanikan, bank sentral Inggris menarik bazokanya. Bank of England mengatakan pada hari Rabu bahwa pihaknya akan mencetak £ 65 miliar ($ 70 miliar) untuk membeli obligasi pemerintah antara periode saat ini dan 14 Oktober yang pada dasarnya melindungi ekonomi Inggris.
"Meskipun ini disambut baik, fakta bahwa itu perlu dilakukan sejak awal menunjukkan bahwa pasar Inggris berada dalam posisi berbahaya," kata Paul Dales, kepala ekonom Inggris di Capital Economics, mengomentari intervensi bank.
Pertolongan pertama darurat berhasil menghentikan pendarahan. Harga obligasi pulih tajam dan pound stabil pada Rabu terhadap dolar. Tapi lukanya belum sembuh.
Pound melemah sebesar 1% dan jatuh kembali di bawah $ 1,08 pada Kamis pagi. Obligasi pemerintah Inggris berada di bawah tekanan lagi, dengan imbal hasil pada obligasi bertenor 10-tahun naik menjadi 4,16%. Pasar saham Inggris turun 2%.
"Tidak akan menjadi kejutan besar jika masalah lain di pasar keuangan muncul tak lama kemudian," tambah Dales.
Beberapa minggu ke depan situasi ekonomi Inggris akan menjadi lebih kritis. Mohamed El-Erian, yang pernah membantu menjalankan dana obligasi terbesar di dunia dan sekarang menjadi penasihat Allianz (ALIZF), mengatakan bahwa bank sentral telah mengulur waktu tetapi perlu bertindak lagi dengan cepat untuk memulihkan stabilitas.
“Band-Aid mungkin menghentikan pendarahan, tetapi infeksi dan pendarahan akan bertambah parah jika tidak dilakukan lebih banyak,” katanya kepada Julia Chatterley dari CNN.
Menurut El-Erian, Bank of England harus mengumumkan kenaikan suku bunga darurat sebelum pertemuan yang dijadwalkan berikutnya pada 3 November. Pemerintah Inggris juga harus menunda pemotongan pajaknya.
“Itu bisa dilakukan, jendelanya ada, tetapi jika mereka menunggu terlalu lama, jendela itu akan tertutup,” tambahnya.
Baca Juga: Ini Daftar Negara yang Ekonominya Terancam di 2023, Eropa Paling Terdampak
Pendapat Sri Mulyani
Melansir Kompas.com, Menteri Keuangan Sri Mulyani menyebut ada sejumlah sebab Inggris tengah dalam kondisi krisis ekonomi sebagaimana saat ini (krisis Inggris).
Namun, resesi di negara itu sejatinya akibat kebijakan ekonomi yang salah. Di saat bersamaan, ekonomi global juga sedang tidak baik. Hal itulah yang membuat sentimen negatif kemudian menjalar semakin kuat.
"Itu lebih spesifik karena policy mereka sendiri, tetapi juga bisa mempengaruhi sentimen karena kejadiannya berurutan pada saat Federal Reserve di AS menaikkan (suku bunga) 75 basis poin. Jadi itu menimbulkan kombinasi dua sentimen yang men-drive selama seminggu ini," kata Sri Mulyani dikutip pada Jumat (30/9/2022).
Ia menilai, kondisi yang dialami Inggris disebabkan oleh kebijakan fiskal negara itu sendiri. Pemerintah Inggris berencana memangkas pajak dan memberikan insentif investasi bagi dunia usaha, sementara di saat bersamaan otoritas moneternya menaikkan suku bunga acuan.
Baca Juga: Putin Mendeklarasikan Aneksasi Empat Wilayah Ukraina
Kebijakan pemerintah Inggris yang berfokus pada pertumbuhan itu membuat nilai tukar poundsterling anjlok. Para pelaku pasar khawatir utang Inggris akan kembali meningkat, padahal saat ini rasio utangnya sudah lebih 100 persen terhadap produk domestik bruto (PDB).
Mantan Direktur Pelaksana Bank Dunia itu bilang, setiap negara memiliki kebijakan masing-masing dalam membendung efek krisis ekonomi di Inggris.
"Setiap negara punya situasi khusus masing-masing. Kalau kita lihat apa yang terjadi di Inggris itu tentu pertama akan menimbulkan sentimen kepada seluruh dunia," ujar dia.