Sumber: Reuters | Editor: Handoyo
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Investasi dana kekayaan negara Norwegia di perusahaan-perusahaan Israel memicu perdebatan publik yang jarang terjadi, bahkan berpotensi memengaruhi arah pemerintahan baru pasca pemilu pada 8 September 2025.
Dana Kekayaan Negara Norwegia, atau Government Pension Fund Global (GPFG), merupakan dana investasi terbesar di dunia dengan nilai mencapai US$2 triliun, setara dengan sekitar 355.000 dolar AS untuk setiap warga Norwegia.
Dana ini dikelola oleh Norges Bank Investment Management (NBIM), dengan mandat menginvestasikan pendapatan minyak dan gas Norwegia di luar negeri agar tidak memicu overheating ekonomi domestik.
Biasanya, operasional dana ini berjalan dengan profil rendah. Namun, kali ini posisinya dalam perusahaan Israel menimbulkan kontroversi besar dan menjadi bahan kampanye pemilu.
Tuntutan Divestasi dari Israel
Partai kiri, Socialist Left, menekan Partai Buruh yang berkuasa dengan syarat: mereka hanya akan mendukung koalisi pemerintahan baru jika dana tersebut sepenuhnya mendivestasikan diri dari perusahaan yang terlibat dalam “perang ilegal Israel di Gaza.”
Partai Buruh menolak tuntutan itu. Namun, pasca pemilu, tekanan politik diperkirakan akan semakin sulit dihindari.
Baca Juga: Gaza Resmi Masuki Status Kelaparan, PBB Sebut Bencana Buatan Manusia
Sejak 30 Juni 2025, GPFG telah menjual saham di 23 perusahaan Israel, termasuk perusahaan mesin jet yang memberi layanan perawatan bagi pesawat tempur Israel. Sebelumnya, hanya dua perusahaan Israel yang pernah dikeluarkan dari portofolio.
Per 14 Agustus, GPFG masih memegang saham di 38 perusahaan Israel senilai 19 miliar kroner (± US$1,85 miliar) di sektor perbankan, teknologi, barang konsumsi, dan industri.
Menteri Keuangan Jens Stoltenberg bahkan menegaskan lebih banyak divestasi kemungkinan akan dilakukan.
Krisis Kepercayaan
CEO NBIM, Nicolai Tangen, menyebut situasi ini sebagai krisis terburuk sepanjang kariernya. “Ini adalah krisis terburuk saya. Situasi ini serius karena menyangkut kepercayaan publik terhadap dana,” ujarnya kepada harian Dagens Industri.
Meski menghadapi tekanan, Tangen menolak mundur dan menegaskan dirinya hanya menjalankan mandat yang telah diputuskan parlemen.
Perdebatan Etika dan Politik
Kontroversi ini berakar pada pedoman etika yang ditetapkan sejak 2004. Aturan tersebut melarang investasi di perusahaan yang terlibat dalam pelanggaran berat hak asasi manusia, terutama dalam perang atau konflik.
Pendukung divestasi menilai investasi di Israel sama saja dengan mendukung pelanggaran hukum internasional. Mereka juga menilai proses formal divestasi terlalu lambat. Namun, para penentang berpendapat bahwa singling out satu negara justru bisa melanggar prinsip keadilan dalam aturan etika dana tersebut.
Baca Juga: Israel Gempur Gaza City, Netanyahu Siapkan Serangan Darat Besar-besaran
Dampak Politik dan Pemilu
Kampanye ini berlangsung di tengah ketatnya persaingan pemilu Norwegia. Koalisi partai kanan—Konservatif, Partai Kemajuan, Liberal, dan Demokrat Kristen—diproyeksikan meraih 85 kursi, hanya selisih satu kursi dari mayoritas di parlemen, menurut data pollofpolls.no.
Jika isu investasi ini terus mendominasi perdebatan publik, hasil pemilu bisa terpengaruh. Tradisinya, empat partai besar Norwegia berupaya mencapai “supermayoritas” agar kebijakan pengelolaan dana tidak berubah-ubah tiap kali pemerintahan berganti. Namun, kasus Israel membuat prinsip itu kini diuji.
Risiko Reputasi Global
Dengan investasi tersebar di hampir 9.000 perusahaan di seluruh dunia, semakin tingginya sorotan publik meningkatkan risiko reputasi dana tersebut.
Menurut notulen rapat internal Desember 2024 yang diperoleh Reuters, ada kekhawatiran besar bahwa divestasi dari perusahaan negara—khususnya di rezim otoriter—akan ditafsirkan sebagai tindakan politik yang bermusuhan.
Anggota parlemen dari Partai Konservatif, Mahmoud Farahmand, mengingatkan: “Semakin terlihat dana ini di dunia internasional, semakin tinggi risiko reputasinya.”